Puisi Esai Mila Muzakkar
SEORANG perempuan di NTT, 50 tahun, menjadi kepala rumah tangga dengan menjadi pemulung, untuk menafkahi suaminya yang sakit stroke – (1)
-0-
Gerimis menari di atap seng yang mulai renta.
Rumah itu, tak lebih dari gubuk tua,
tanah menjadi lantai,
angin menjadi tamu setia.
Di sudut desa NTT, di tepi dunia yang sepi,
di sanalah Marta dan suaminya berteduh.
Saat senja turun perlahan,
Pelita kecil berkedip, berjuang melawan gulita.
Tak ada listrik yang benderang seperti di kota-kota besar,
hanya bayangan yang menari di dinding bambu yang mulai rapuh.
Dari jendela yang berdebu, Marta menatap kosong,
Jalanan lengang, debu menutup keindahan bumi Komodo.
Di ranjang reyot dari kain lusuh,
suaminya terbaring diam.
Tubuh yang dulu gagah kini terkunci dalam diam.
Sejak divonis stroke, tak ada lagi kepala rumah tangga yang menopang rumah ini.
Seperti fajar yang selalu berganti malam,
hidup harus terus berlanjut.
Seperti sungai yang terus mengalir, meski bebatuan mencoba menjadi penghalang.
Kini, Maria menggantikan peran suaminya.
Ia menjadi kepala rumah tangga yang harus menafkahi dirinya dan suaminya.
-0-
Ayam-ayam baru saja berkokok,
Marta bangkit sebelum matahari bulat sempurna.
Tangan letihnya menyiapkan makanan untuk sang suami,
sebelum melangkah pergi, menggendong karung dan harapan.
Dari fajar hingga mentari jatuh di ufuk barat,
Marta berjalan, melintasi batas desa.
Pakaian lusuhnya menari di tiupan angin,
bekal air putih dalam botol plastik mengisi dahaga panjang.
Matanya memandangi tong-tong sampah,
mencari sisa-sisa kehidupan yang ditinggalkan dunia yang kenyang.
Langkahnya berat, dadanya sesak,
namun ia terus menyusuri lorong takdirnya.
Setiap gelas plastik, setiap lembar kardus,
adalah pecahan mimpi yang ia kumpulkan dalam karung harapan.
Dalam langkah yang mulai melemah,
badan yang mulai kesakitan,
Maria terus berjalan, berharap menemukan mutiara-mutiara di balik tong-tong sampah.
Gelas-gelas aqua yang didapatkannya hanya dihargai lima ribu.
Jika bernasib baik, Maria akan mendapatkan serratus ribu dalam semiggu.
Uang itulah yang ia tukar dengan beras dan lauk seadanya.
Tak tersisa lagi untuk kebutuhan lainnya,
termasuk biaya pengobatan untuk lelaki yang dicintainya.
-0-
Menjadi pemulung adalah hidup yang tak mudah,
hujan dan matahari menjadi ujian abadi,
tatapan merendahkan menjadi makanan sehari-hari.
Namun Marta tak gentar,
tak sudi ia merendahkan tangan,
Ia memilih berdiri tegak di atas kakinya sendiri.
Baginya, perempuan adalah ibu bumi,
perempuan adalah akar kehidupan,
dari tangannya, dunia terus berputar.
Sejak 2017, Marta menjadi kepala rumah tangga,
menghidupi dan melindungi,
mencintai tanpa henti.
Pada Tuhan, Marta berbisik dalam doa,“Tuhanku, lepaskan suamiku dari deritanya, berikan aku jalan untuk merawatnya.”
Ingin ia menggenggam tangan lelaki itu,
mengantarnya ke rumah sakit,
menyaksikan senyumnya kembali hidup di wajah yang dulu bercahaya.
Namun, receh-receh yang ia kumpulkan masih jauh api dari panggang.
Dengan langkah tegas, Marta terus berjalan, memperjuangkan keluarganya,
“Tuhan menitipkan kepercayaan ini padaku.
Setiap manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan untuk menjadi pemimpin,” batinnya. (*)
Depok, 14 Februari 2025
Catatan
Puisi esai ini dibuat dengan bantuan AI
(1) https://regional.kompas.com/read/2020/08/04/14464581/cerita-maria-jadi-pemulung-untuk-menafkahi-suami-yang-strok-tinggal-di-gubuk?page=1
(2) Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 12,73 persen kepala rumah tangga perempuan di Indonesia pada 2023) (1)
@hatipena