Oleh Anto Narasoma


SECARA estetika simbol-simbol dalam pementasan Teater Potlot bertajuk “Lahan Gambut” merupakan corak kreativitas sajian panggung yang kaya gerakan.

Kalau diikuti dari tampilan awal hingga akhir sajian, gerak-gerak teatral dalam permaiman panggung anak-anak Potlot sangat menarik.

Tampaknya dari format sajian yang kaya gerakan itu, naskah yang ditulis Connie C Sema (alm) hanya rangkaian ilustrasi sajian saja. Karena dialog hanya sesekali saja diungkap seorang pelakon.

Menurut dramawan Jerman, Bertolt Brecht, tampilan teater seperti ini sudah disajikan di Jerman 12 Maret 1932. Kreativitas yang disajikan lebih banyak menampilkan gerakan-gerakan estetis.

Naskah yang melengkapi penampilan itu, kata Brecht, hanya memberi patokan gerakan yang diharapkan dapat menyampaikan isi (sense of teatral) sajian cerita ke penonton.

Dalam tampilan “Lahan Gambut” kali ini, ilustrasi musik lebih banyak memberikan untuk menghidupi peran pemain dalam balutan simbol-simbol. Seperti simbol gambut, air, kerakusan manusia serta kobaran api yang menghanguskan segalanya itu bisa kita nikmati dari tiap adegan.

Tampaknya, para pelakon benar-benar menjadikan dirinya sebagai apa (gambut, air, kerakusan manusia serta kobaran api), dapat diekspresikan secara baik.

Seperti dikatakan Jean Paul Sartre, antara peran sebagai apa dan siapa, pemeran benar-benar menyatu dalam permainan di panggung pertunjukan.

Menurut Connie C Sema, saat latihan sebelum pentas, ia hanya jelaskan rangkaian isi pertunjukan dalam format naskah.

“Namun naskah hanya sebagai panduan untuk memunculkan simbol gambut, air dan keserakahan. Semua saya serahkan ke para pemain,” kata Connie.

Hasilnya memang luar biasa. Karena diberi kebebasan berekspresi, para pelakon menapilkan permainan mereka benar-benar tampil penuh penghayatan.

Saya belum pernah melihat pemain-pemain itu latihan sebelum pentas. Namun kalau mengacu ke teater konvensional, latihan fisik pemain selalu dekat pada alam.

Misalnya latihan dalam keheningan (meditasi), para pemain harus melepaskan diri dari segala ketergantungan jiwanya. Mereka harus mampu melepaskan diri sendiri untuk mencari karakter lain yang harus mereka dalami (peran yang dibawakan).

Tak hanya latihan fisik, para pemain pun dituntut untuk mempertajam perasan dan pikiran. Latihan ini sangat penting untuk menjadikan dirinya sebagai watak dalam karakter peran.

Karena itu ketika Dustin Lee Hoffman berperan dalam film Kramer Vs Kramer, ia benar-benar bermain baik sebagai wanita yang sangat feminin.

Dalam permainannya Hoffman yang berkarakter dalam kepribadian antiheroes itu tampil sebagai wanita tua (bukan banci) yang bijak.

Bisa jadi Connie berharap agar para pelakon dapat memerankan figur yang dipercayakan secara total. Itu artinya, Hoffman selalu memperhatikan karakter nenek-nenek di berbagai tempat selama lebih dari enam bulan.

Karena itu, meski para pemain “Lahan Gambut” tak sekaliber Dustin Lee Hoffman, setidaknya Connie berharap para aktor Teater Potlot dapat bermain maksimal.

Sebenarnya, para pemain “Lahan Gambut” lebih banyak melakukan gerakan sesuai karakter yang diperankan. Meski tiap pemeran “tidak mesti” menghafal teks dialog, namun kekuatan gerakan sangat potensial untuk menyampaikan isi suatu pementasan teater. (*)


Palembang, 29 Desember 2024


@hatipena 



 
Top