Penulis: Mila Muzakkar
Puisi Esai ini mengangkat kisah pelecehan seksual yang sering dialami oleh perempuan berjilbab, bahkan yang bercadar- (1)
Angin Pantai Losari
berembus kencang.
Sambil menatap Mesjid 99 Kubah,
perempuan bercadar itu merenungi nasibnya.
“Apa cadarku kurang cukup menutup auratku? Mengapa mereka masih melecehkanku?” Iya membatin.
Perempuan itu menangis tanpa air mata,
hatinya seperti tertusuk ratusan duri tajam.
Sang fajar baru saja tiba,
membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap.
“Assalatu khairum minan naum”..
Kalimat itu menggema di udara.
Anggun terbangun,
Ia siap memenuhi panggilan-Nya.
Ia raih cadarnya,
tubuhnya rapat ia tutup.
Di ruangan gelap, sempit,
di bawah lampu temaram.
Subuh itu, di antara dinding-dinding pesantren yang bisu,
lamat-lamat terlihat bayangan seorang lelaki mendekat.
Hentakan kakinya makin dekat.
Anggun terdiam.
Matanya berselancar mencari asal bayangan itu.
“Tenang ya Nak, ini bagian dari ujian keimananmu,” lelaki berpeci itu mendekap mulutnya, memeluknya dari belakang.
“Perempuan saleha selalu patuh pada guru dan Tuhannya,” lelaki itu terus membajak ayat-ayat Tuhan.
Nafasnya hampir berhenti.
“Ujian keimanan? Apa Tuhan mengajarkan ini?”, Anggun berusaha mengingat barisan ayat-ayat Tuhan yang pernah ia baca.
Hatinya mengingkari.
“Tuhan menyuruh hambanya menjaga kesuciannya, terlebih di depan bukan muhrimnya.”
Berusaha ia lepaskan tubuhnya,
tapi dekapan lelaki itu lebih kuat dari doa-doanya.
Kakinya seolah terpasung dalam sajadah yang kini ternoda.
Setelan baju koko dan sarung sutra yang membalut tubuh lelaki itu,
pakaian yang biasa ia kenakan berdiri di mimbar.
Lidahnya manis mengumbar surga bagi yang taat,
dan neraka bagi yang membangkang.
Dengan pakaian yang sama,
Subuh itu, sang pendakwah tak ubahnya ular berbisa.
Ular itu begitu lapar menggigit perempuan suci di balik cadar.
Sang fajar yang Indah kini ternoda.
Anggun terisak di sudut ruangan,
seperti kertas yang remuk, yang siap dibuang ke tempat sampah.
Tak ada yang tahu,
hanya beton-beton tinggi yang menyanggah, Pesantren itu menjadi saksi bisu.
Jubahnya masih utuh,
cadarnya masih rapat.
Tapi hatinya t’lah sobek,
meski dijahit, jahitannya tak akan utuh seperti semula.
Esoknya, dengan setelan pakaian yang sama,
di atas mimbar yang sama,
ayat-ayat Tuhan kembali menggema.
Di atas mimbar dakwah,
Ia teriakkan tentang kehormatan dan kesucian wanita,
tentang tugas mulia seorang guru yang menyeru pada kebaikan dan menjauhi kemungkaran,
tentang surga dan neraka.
Lelaki itu memuntahkan ayat-ayat suci,
tapi matanya menelanjangi dengan dosa.
Di hadapan jamaah,
ia adalah air yang menyucikan.
Tapi di ruang sepi, ia adalah api yang membakar tanpa ampun.
Otak bejatnya bersembunyi di balik mulut manisnya.
Di bawah langit sore,
di tengah deru pantai Losari,
Anggun berada di persimpangan jalan.
Hatinya terombang-ambing,
Seribu tanya menghantuinya,
“Tuhan, cadar ini kupilih sebagai pelindungku. Seperti janjimu. Tapi kenapa laki-laki itu masih memangsaku?
“Apa aku yang belum pantas memakai cadar ini?
“Atau otak busuk laki-laki itu yang lebih tajam hingga menembus cadarku, merobek pertahanan kehormatanku?”
Depok, 10 Februari 2025
Catatan
(1) https://www.google.com/amp/s/www.liputan6.com/amp/4201914/aktivis-dakwah-makassar-lakukan-kejahatan-seksual-terhadap-wanita-bercadar
(2) Assalatu khairum minan naum” dalam bahasa Arah berarti: shalat lebih baik daripada tidur
@hatipena