Oleh Yayah Rokayah, S.Tr.Keb *)
MENURUT Imam Al Gazali, puncak kebahagiaan adalah ma’rifatullah. Kebahagiaan adalah keadaan hati merasa tenang, konaah, dan ridho dengan ketetapan Allah.
Kebahagiaan tidak hanya sebatas materi, terpenuhi materi seperti rumah mewah, mobil mewah, harta berlimpah tetapi kebahagiaan hakiki adalah ketika kita mampu menjaga fitrah, agar senantiasa terjaga kesuciannya, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. At Tin ayat 4, yang artinya “Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik dan rupa yang paling sempurna, tegak jalannya dan sempurna, lagi baik semua anggota tubuhnya.
Begitu pula Allah telah menyempurnakan penciptaanya dengan diberikan akal dan naluri. Dengan akal manusia mampu berfikir dan menimbang mana yang baik mana yang buruk, mana yang dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Asy Syam ayat 9 yang artinya “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (menyucikan jiwanya)”.
Kebahagiaan Hakiki
Mengapa kebahagiaan yang hakiki tidak bisa dicapai? Karena fitrah sudah dirusak. Perusak fitrah manusia adalah:
Orangtua, sebagaimana sabda Rasulullah saw “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia Yahudi, Nasrani dan Majusi” (H.R. Muslim).
Contoh, ketika orangtua tidak mempunyai ilmu dan tidak faham ketika seorang anak perempuan sudah baligh, seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan telapak tangan sehingga akan membiarkannya jika keluar rumah tidak menutup aurat. Tanpa disadarinya orangtua itu sedang merusak fitrah anaknya.
Lingkungan, tempat berinteraksi sebagaimana kita sadari bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Di sini, harus memperhatikan siapa teman kita sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “Seseorang tergantung pada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan sebagai teman dekat”. (HR. Abu Dawud).
Begitu perumpamaan ketika kita berteman dengan penjual minyak wangi, setidaknya kita akan mencium bau wangi ketika dengannya, dan sebaliknya jik berteman dengan seorang pandai besi maka ketika kita dekat dengannya akan mencium bau udara dari percikan apinya. Jika kita salah memilih teman maka kita sedang merusak fitrah.
Syaiton atau Iblis tidak mentaati perintah Allah SWT dan tidak mau bersujud kepada Nabi Adam AS, maka Iblis dikutuk Allah SWT. Kemudian Iblis memohon kepada Allah agar diberi penangguhan sampai hari manusia dibangkitkan agar Iblis bisa menyesatkan anak cucu Adam. Iblis juga berjanji akan menyesatkan manusia.
Hal ini dijelaskan dalam Surah Al-Hijr Ayat 39 – 40, (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)
Dalam penjelasan Tafsir Kementerian Agama, ayat ini menerangkan, Iblis telah dikutuk dan dilaknat Allah dengan menjauhkannya dari nikmat-Nya dan menjadikan ia sesat dan hina. Iblis memohon supaya Allah memberi kesempatan untuk menyesatkan anak cucu Adam dengan menjadikan perbuatan jahat menjadi baik menurut pandangannya.
Dengan demikian, Iblis akan menarik hati mereka (anak cucu Adam) sehingga tanpa disadari mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat itu. Namun hal itu tidak berlaku bagi hamba-hamba yang ikhlas dan saleh yang tidak dapat dipalingkan dari kebenaran.
Semoga kita adalah orangtua yang akan senantiasa diberi kekuatan dan kemampuan untuk menjaga fitrah anak-anak kita. Sehingga anak-anak kita akan mampu memilih teman dan komunitas yang sehat. Diharapkan anak keturunan kita akan menjadi anak-anak yang ikhlas, sholih/sholihah, dan tidak menjadi manusia yang akan disesatkan oleh syaiton. (*)
*) Penulis adalah Pendakwah dan Pendiri Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah TK dan SD
@hatipena