Oleh: Wahyu Iryana *)
SEORANG kawan dari Jakarta, yang masih beranggapan bahwa tanah Lampung itu jauh dan hanya dihuni oleh gajah dan pepohonan, bertanya kepada saya, “Mengapa banyak orang Jawa di Lampung?”
Saya terdiam sejenak, menyeruput kopi hitam yang mulai dingin. Jawaban yang hendak saya berikan cukup panjang, dan saya ingin menyampaikannya dengan penuh kasih sayang, agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ketika dulu ia mengira bahwa Sumatra dan Sulawesi adalah satu pulau besar.
“Lampung itu tanah harapan, Bung,” kata saya, sok filosofis. “Orang-orang dari Jawa, terutama yang hidup dalam keprihatinan, pergi ke sana dengan harapan. Seperti kisah-kisah hijrah para nabi. Bedanya, mereka tidak membawa unta, melainkan cangkul dan harapan akan sawah yang luas.”
Kawan saya mengangguk, walau dari sorot matanya tampak bahwa ia lebih tertarik pada gorengan tempe di depan kami daripada kisah transmigrasi yang hendak saya ceritakan.
Transmigrasi: Antara Takdir dan Taktik
Sejarah transmigrasi ke Lampung itu ibarat novel panjang yang ditulis oleh pemerintah sejak zaman kolonial. Awalnya, transmigrasi dilakukan dengan alasan klise: tanah di Jawa semakin sempit, penduduk semakin padat, dan harga tanah semakin melambung seperti layangan di musim kemarau. Maka, pemerintah Hindia Belanda menganggap solusi terbaik adalah mengirim orang-orang Jawa ke tanah seberang.
Saat itu, Lampung dipilih karena tanahnya luas dan katanya subur. Tapi kalau Anda bertanya kepada generasi pertama para transmigran, mereka akan menceritakan betapa “subur” yang dimaksud pemerintah adalah tanah yang harus dibuka dengan tenaga ekstra. Hutan belukar, rawa-rawa, dan binatang buas menjadi tantangan pertama mereka sebelum akhirnya bisa menanam padi atau jagung.
Pascakemerdekaan, transmigrasi kembali digaungkan oleh pemerintah Republik Indonesia, terutama pada era Soeharto. Dengan semangat pembangunan, ribuan keluarga Muslim dari Jawa, Madura, Sunda, dan daerah lain dikirim ke Lampung. Mereka diberi lahan, rumah sederhana, dan mimpi manis tentang hidup yang lebih baik.
Tapi tentu saja, hidup di tanah baru tidak selalu semanis gula aren. Di sinilah kisah-kisah heroik para transmigran bermula.
Ketika Tanah Harapan Menjadi Tanah Perjuangan
Orang-orang Muslim yang datang ke Lampung dengan semangat hijrah sering kali mendapati bahwa mereka bukan hanya harus berjuang dengan tanah yang masih keras, tetapi juga dengan cuaca yang tak menentu dan serangan hama yang kadang lebih kejam dari rentenir.
Ada satu cerita dari seorang transmigran yang saya kenal, Pak Leman, yang tiba di Lampung pada 1980-an. Saat pertama kali menginjakkan kaki di lahan yang diberikan pemerintah, ia menatap sekeliling dan berkata, “Mana sawahnya?”
Ternyata, sawah itu masih berupa semak belukar setinggi dada. Pak Leman dan teman-temannya diberi kapak, parang, dan doa restu dari pejabat desa. Mereka harus membuka lahan sendiri, menanam sendiri, dan berharap panen pertama mereka tidak gagal.
“Awal-awal itu, kami lebih banyak makan singkong daripada nasi,” kenang Pak Leman. “Bukan karena ingin diet, tapi karena padi kami kalah cepat tumbuh dibanding perut yang lapar.”
Namun, para transmigran ini bukan orang sembarangan. Mereka punya mental baja, warisan dari nenek moyang yang dulu juga bertani di tanah yang tidak kalah keras. Pelan-pelan, sawah mulai membentang, kebun mulai menghasilkan, dan kampung-kampung baru mulai bermunculan.
Islam dan Tradisi yang Bertahan
Sebagai masyarakat Muslim, para transmigran ini tidak hanya membawa cangkul dan peralatan bertani, tetapi juga nilai-nilai agama yang kuat. Masjid-masjid kecil mulai didirikan, madrasah mulai dibuka, dan pengajian mulai rutin diadakan.
Di antara tantangan ekonomi dan pertanian, mereka tetap menjaga tradisi keislaman. Ada satu kisah menarik dari sebuah kampung transmigran di Lampung Timur, di mana seorang kiai desa pernah berkata, “Kalau kalian bisa membangun sawah, pasti bisa membangun surau.”
Dan benar saja, sebelum kampung itu memiliki jalan aspal yang layak, mereka sudah memiliki masjid yang megah.
Tapi tentu saja, tidak semua hal berjalan mulus. Ada gesekan budaya antara para pendatang dan penduduk asli Lampung, terutama dalam hal adat istiadat. Masyarakat Lampung yang memiliki tradisi Piil Pesenggiri—konsep kehormatan dan harga diri—kadang berbeda cara pandang dengan para pendatang yang lebih egaliter.
Namun, seiring waktu, akulturasi terjadi. Perkawinan antarbudaya semakin banyak, tradisi lokal dan Islam saling berbaur, dan kampung-kampung transmigran mulai menjadi bagian dari lanskap sosial Lampung yang lebih luas.
Dari Transmigran Menjadi Pribumi
Kini, setelah puluhan tahun, para transmigran dan keturunannya bukan lagi “orang baru” di Lampung. Mereka telah menjadi bagian dari daerah itu, membangun ekonomi, menjadi pemimpin lokal, dan ikut menentukan arah perkembangan wilayah.
Lampung yang dulu disebut sebagai “tanah harapan” kini benar-benar menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi mereka. Kota-kota seperti Metro, Tulang Bawang, dan Lampung Tengah berkembang dengan pesat, dan banyak dari anak-anak transmigran yang kini menjadi pejabat, pengusaha, atau akademisi.
Namun, bukan berarti semuanya tanpa masalah. Isu agraria masih sering muncul, terutama terkait kepemilikan tanah dan konflik antara transmigran dan masyarakat adat. Selain itu, modernisasi membawa tantangan baru: bagaimana mempertahankan nilai-nilai komunitas dan kebersamaan di tengah arus individualisme yang semakin kuat?
Saya mengingat kembali pertanyaan kawan saya tadi, “Mengapa banyak orang Jawa di Lampung?”
Saya tersenyum dan menjawab, “Karena Lampung adalah rumah kedua bagi mereka. Mereka datang sebagai perantau, tapi kini mereka sudah menjadi tuan rumah.”
Dan begitulah, transmigrasi bukan hanya soal pindah tempat. Ia adalah kisah perjuangan, adaptasi, dan harapan. Seperti kopi yang saya minum sore itu—kadang pahit, kadang manis, tapi selalu meninggalkan jejak di hati. (*)
*) Sejarawan Muslim UIN Raden Intan Lampung