Elza Peldi Taher


DI MINANGKABAU, saat fajar belum menyingsing, masyarakat berbondong-bondong menuju masjid. Mereka datang dalam barisan yang teratur, seolah-olah dipanggil oleh suara azan yang menggema dari menara. Hingga matahari mulai menyembulkan sinarnya di ufuk timur, mereka baru melangkah pulang ke rumah, membawa ketenangan yang baru dipupuk dalam sujud. Setelah itu mereka memulai aktivitasnya.

Begitu pula kala senja merayap perlahan. Menjelang magrib, lautan manusia kembali memenuhi serambi masjid, melaksanakan salat magrib dengan khidmat. Usai salat magrib, mereka tak serta-merta pulang. Dalam dekapan malam yang mulai turun, mereka memilih bertahan, menanti salat isya.

Setelah selesai salat isya, mereka pulang dengan wajah yang ceria, seakan beban hidup telah luruh bersama doa-doa yang dipanjatkan.

Bagi mereka, Masjid bukan sekadar tempat sujud, tetapi juga tempat di mana kedamaian jiwa ditemukan.

Suasana seperti itu saya alami waktu kecil di kampung halaman. Sebuah suasana yang indah. Suasana yang membentuk pertumbuhan diri saya di kemudian hari.

Saya sungguh terpesona melihat para ninik mamak dan tokoh agama berdialog serta mendiskusikan masalah sosial dan keagamaan yang muncul dengan cerdas dan dewasa, di masjid. Lewat dialog yang terbuka, semua masalah dibedah. Mereka berdebat tajam, tetapi ketika selesai, mereka kembali berjabat tangan. Mereka sadar bahwa usaha pencarian kebenaran harus diselesaikan lewat musyawarah yang jernih dan terbuka.

Di Minangkabau, masjid bukan sekadar tempat bersujud. Lebih dari itu, ia adalah ruang musyawarah, panggung pendidikan dan pusat kehidupan sosial. Di balik kemegahan kubah dan gemanya azan, masjid menjadi simpul erat yang mengikat adat dan syariat, sebagaimana termaktub dalam filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Sejarah panjang masjid dalam kehidupan masyarakat Minangkabau tak bisa dilepaskan dari tradisi surau. Dahulu, surau menjadi tempat anak laki-laki menimba ilmu agama dan adat, hingga mereka cukup dewasa untuk berumah tangga. Surau mengajarkan lebih dari sekadar bacaan salat—di sanalah mereka belajar silat sebagai bela diri, memahami pepatah petitih, serta memupuk nilai kebersamaan. Meski tradisi ini mulai bergeser, masjid tetap menjadi episentrum kehidupan masyarakat.

Bagi para ninik mamak—tetua adat yang menjadi penopang hukum adat—masjid adalah tempat bermusyawarah. Jika ada sengketa tanah ulayat atau perselisihan keluarga, mereka duduk bersila di serambi masjid, mencari mufakat dengan kepala dingin.

Alim ulama pun turut berperan, memastikan bahwa setiap keputusan adat tidak melanggar hukum Islam. Dari sinilah lahir kebijakan-kebijakan yang mengatur kehidupan sosial, mengokohkan keseimbangan antara adat dan agama.

Peran masjid di Minangkabau tak hanya berkutat pada urusan adat. Ia juga menjadi arena perubahan sosial. Dari mimbar masjid, khutbah Jumat tak jarang membahas isu-isu kekinian: dari perantauan anak nagari hingga tantangan ekonomi masyarakat.

Masjid bukan hanya tempat melantunkan doa, tetapi juga ruang untuk menyusun strategi menghadapi dunia yang terus berubah.

Di era modern ini, masjid tetap menjadi penjaga harmoni antara adat dan agama. Ketika globalisasi menggerus banyak nilai tradisional, masjid berdiri kokoh sebagai benteng identitas. Ia bukan hanya rumah ibadah, melainkan juga rumah kebijaksanaan, tempat di mana adat dan syariat menyatu dalam satu tarikan napas.

Satu hal yang mengkhawatirkan kini bahwa masjid lebih banyak dikunjungi oleh orang tua yang sebagian besar masih sempat mengenyam pendidikan di surau. Anak-anak mudanya tak lagi menjadi motor di masjid, seperti api yang perlahan meredup, karena mereka mungkin tak merasakan pendidikan di surau sejak surau mulai menghilang tahun 80-an awal, digantikan oleh masjid-masjid yang berdiri menjamur. Keadaan itu berlangsung terutama di pedalaman. Di kota kehadiran anak muda cukup lumayan, meski tak significant.

Perkembangan ini cukup mengkhawatirkan saya. Tapi sebagai orang Minang, saya yakin regenerasi di masjid akan berlanjut. Anak-anak muda akan tampil mengelola masjid dengan ide dan gagasan yang mencerahkan, bagaikan fajar baru yang perlahan menyingsing di cakrawala. Agar masjid kembali menjadi pusat aktivitas anak muda, perlu ada pendekatan yang lebih segar dan relevan. Kegiatan yang melibatkan kreativitas, diskusi terbuka, dan pemberdayaan ekonomi berbasis masjid bisa menjadi daya tarik.

Selain itu, peran teknologi juga harus dimanfaatkan—dari kajian daring hingga media sosial yang lebih aktif. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, masjid dapat kembali menjadi rumah bagi semua generasi, tempat di mana tradisi dan masa depan bertemu dalam harmoni.

Pondok cabe Udik 4 Januari 2025


 @hatipena



 
Top