Penulis: Elza Peldi Taher
LANGIT cerah di pagi itu. Anak-anak berseragam putih-merah berlarian ke sekolah dengan wajah berbinar. Di tangan mereka, sebungkus makanan gratis—hasil dari program makan bergizi yang dicanangkan pemerintah. Di meja-meja kelas, piring berisi nasi, lauk-pauk, dan segelas susu telah tersaji.
Haris, seorang siswa sekolah dasar, pulang ke rumah dengan wajah gembira karena makan siang gratis di sekolah. Namun, kegembiraan itu seketika pudar saat ia mendapati ayahnya duduk di sudut rumah dengan mata sembab, tatapan kosong menatap lantai. Haris juga terkejut melihat meja makan yang hanya menyajikan nasi putih dan sepotong tempe dingin.
“Maaf, Nak, makannya dikurangi,” suara ayahnya terdengar berat, seperti tertelan kesedihan. “Hidup akan semakin berat… Bapak di-PHK akibat efisiensi pemerintah,” lanjutnya dengan nada sendu.
Haris menggigit bibir, mencoba memahami apa yang terjadi. Pagi tadi, ia menikmati sepiring makanan bergizi di sekolah, tetapi di rumah, dapur seolah kehilangan nyala api kehidupan.
Sejak pemerintah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis, gelombang perubahan menerjang dari dapur hingga gedung parlemen. Program ini bukan hanya soal mengenyangkan perut anak-anak sekolah, tetapi juga menciptakan badai besar dalam perekonomian nasional. Efisiensi anggaran menjadi mantra baru yang digaungkan di setiap rapat kementerian. Belanja negara dikencangkan, subsidi dikurangi, dan berbagai pos anggaran dievaluasi ulang.
Namun, seperti pisau bermata dua, efisiensi ini membawa luka bagi banyak pihak. Demi mengalihkan dana ke program makan gratis, pemerintah memangkas anggaran di sektor lain.
Proyek-proyek infrastruktur ditunda, belanja pegawai dikurangi dan subsidi energi dievaluasi ulang. Hasilnya? Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda banyak industri, dari konstruksi hingga manufaktur. Kantor-kantor swasta mulai memangkas tenaga kerja, perusahaan rintisan merampingkan tim mereka dan buruh pabrik mendapati pintu gerbang tempat kerja mereka tak lagi terbuka di pagi hari.
Di sudut ruang siaran yang kini terasa asing, seorang penyiar RRI yang terkena PHK menyuarakan perasaannya dengan suara mendayu, sambil menahan tangis.
“Bapak Prabowo, saya tahu bahwa efisiensi anggaran yang bapak lakukan saat ini untuk menunjang agar program makan gratis bisa berjalan. Tapi sudahkah bapak berpikir bahwa ketika pagi hari bapak berhasil memberi makan anak-anak, tapi ketika mereka pulang ke rumahnya apakah bapak tidak berpikir ketika mereka mendapatkan orangtua mereka tak bisa memberi makan siang dan makan malam yang layak karena orangtua mereka harus dirumahkan karena efisiensi yang bapak lakukan? Lalu di mana letak bahwa bapak mencintai rakyat Indonesia?” Tangisan sang penyiar pecah ketika mengakhiri kalimat tersebut. Suaranya, yang dulu mengisi udara dengan berita dan harapan, kini hanya gema pilu di ruangan kosong.
Dampak ekonomi dari kebijakan ini menjalar lebih jauh. Daya beli masyarakat merosot akibat PHK massal, menciptakan rantai panjang persoalan ekonomi. Pasar-pasar kehilangan pembeli, usaha kecil mulai gulung tikar, dan kredit macet mengintai perbankan. Efisiensi, yang awalnya terdengar seperti simfoni kebijakan yang indah, kini berubah menjadi lonceng kematian bagi banyak sektor usaha.
Tak hanya itu, program makan gratis ini juga mengubah peta bisnis pangan. Dengan pemerintah menjadi pembeli terbesar bahan makanan, harga-harga kebutuhan pokok melonjak di pasaran. Petani dan produsen kecil yang tak masuk dalam rantai distribusi program ini justru semakin sulit menjual hasil panennya. Di satu sisi, program ini menciptakan peluang baru bagi para pemasok besar, tetapi di sisi lain, ia menyingkirkan pemain kecil dari meja makan kebijakan.
Pemerintah bersikukuh bahwa badai ini adalah bagian dari transisi menuju masa depan yang lebih baik. “Ini adalah investasi jangka panjang bagi generasi mendatang,” ujar seorang pejabat dalam sebuah konferensi pers. Tetapi pertanyaannya, seberapa mahal harga yang harus dibayar untuk investasi ini? Dan apakah kita benar-benar siap dengan konsekuensi yang mengikutinya?
Di satu sisi, program makan gratis ini membawa harapan bagi jutaan anak Indonesia. Tapi di sisi lain, ia juga melahirkan efek domino yang kini mulai mengguncang stabilitas ekonomi. Seperti pesta besar yang meriah di awal, pertanyaan terbesar kini adalah: siapa yang akan membayar tagihannya?
Sampai kapan makan gratis ini bisa bertahan? Inilah buah simalakama. Jika dipertahankan, ekonomi akan mengalami guncangan. Tapi jika dihentikan, pasti akan mendatangkan gelombang protes di mana-mana, terutama dari mereka yang menikmati makanan ini maupun para pihak yang diuntungkan oleh program ini. Pemerintah kini dihadapkan pada pilihan sulit: terus menanggung beban berat jika program ini dilanjutkan atau menghadapi amukan rakyat yang telanjur bergantung pada kebijakan ini jika dihentikan..
Sebagai jalan tengah, pemerintah bisa menyesuaikan program ini dengan strategi yang lebih berkelanjutan. Penguatan sektor produksi pangan dalam negeri menjadi langkah penting, sehingga biaya impor bisa ditekan. Selain itu, pembukaan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang terdampak efisiensi harus menjadi prioritas.
Alih-alih melakukan pemotongan anggaran secara drastis, pemerintah dapat mengoptimalkan efisiensi dengan pendekatan yang lebih selektif dan strategis. Program ini juga bisa dikombinasikan dengan skema bantuan sosial yang lebih terarah bagi keluarga yang benar-benar membutuhkan, sehingga dampak negatifnya dapat diminimalkan.
Yang paling utama, transparansi dan evaluasi berkala harus menjadi komponen utama dalam memastikan program ini benar-benar berjalan dengan baik tanpa mengorbankan terlalu banyak pihak. (*)
Pondok Cabe Udik 13 Februari 2025
@hatipena