Potret kesederhanaan mahasiswa rantau asal Sumatra yang ngekost di wilayah Jabotabek era 90an.

Penulis:
Wahyu Iryana *)


MENJADI mahasiswa perantauan itu ibarat mengikuti reality show bertajuk Survivor: Kos-kosan Edition. Penuh tantangan, drama dan ujian mental yang lebih berat daripada ujian akhir semester. Tidak ada lagi fasilitas rumah seperti nasi yang tiba-tiba muncul di meja makan atau pakaian yang ajaibnya sudah rapi di lemari.

Di kos-kosan, semuanya harus diusahakan sendiri, termasuk mencari cara agar uang bulanan bertahan hingga akhir bulan tanpa harus berakhir di jalanan sambil melamun seperti filsuf Yunani.

Seorang anak kos sejati adalah makhluk yang mahir dalam ilmu ekonomi, meskipun sering kali gagal menerapkannya. Di awal bulan, mereka bisa hidup seperti sultan, menyantap ayam geprek, sushi murah, hingga sesekali nongkrong di kafe ber-wifi kencang. Namun, di akhir bulan, mereka terpaksa menjadi penganut austerity alias penghematan total: menu makan berubah menjadi kombinasi mie instan, kerupuk, dan doa.

Kaya di Awal, Nestapa di Akhir

Hukum ekonomi anak kos sangat sederhana: pengeluaran berbanding lurus dengan kecepatan transferan orangtua. Artinya, makin cepat uang ditransfer, makin cepat pula habisnya.

Tanggal 1 hingga 5 adalah masa kejayaan. Pada hari-hari ini, warung padang yang sebelumnya hanya ditatap dengan harapan kini menjadi destinasi utama.

BACA JUGA: Balada Mahasiswa Kost, dari Bertamu sampai Tugas Kuliah

Pesanannya pun megah: ayam bakar, rendang, dan jangan lupa telur dadar yang menggunung. Bahkan, ada sedikit rasa kebangsawanan ketika kasir memberikan nota, seakan-akan anak kos ini adalah konglomerat minyak dari negara kaya raya.

Namun, memasuki tanggal belasan, mulai muncul tanda-tanda krisis. Porsi makan berkurang, warteg mulai lebih sering dikunjungi daripada warung padang, dan tiba-tiba nasi telur dengan kuah banyak menjadi pilihan favorit. Pada fase ini, anak kos mulai mencari jalan ninja untuk bertahan hidup, termasuk menerapkan teknik makan gratis dengan mendadak menjadi makhluk sosial.

Lalu tibalah tanggal 25 ke atas—masa keprihatinan nasional. Anak kos pada tahap ini sudah mencapai fase spiritual tertinggi, karena hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka dari kelaparan.

Semua cara dilakukan: ikut seminar hanya untuk snack gratis, menumpang makan di kos teman, atau jika sudah benar-benar terdesak, mereka akan mulai mempertimbangkan magang di kantin kampus, bantu-bantu cuci piring dan melayani pelanggan.

BACA JUGA: Mahasiswa, Kampus dan Kekonyolan yang Abadi

Tidak semua anak kos beruntung memiliki teman yang dermawan apalagi di kala lapar. Maka, ada teknik menahan lapar, mereka harus mengembangkan strategi bertahan hidup sendiri.

Salah satu metode favorit adalah tidur. Ya, tidur adalah solusi terbaik bagi anak kos yang tak punya uang untuk makan. Sebab, dalam mimpi, mereka bisa menikmati ayam goreng, pizza, dan es krim tanpa harus khawatir dengan saldo rekening.

Jika tidur tidak berhasil, maka kreativitas harus dimainkan. Nasi kecap? Pernah. Nasi plus garam? Sudah biasa. Nasi dengan remah-remah kerupuk yang ditemukan di dasar plastik? Jangan tanya. Bahkan, dalam situasi ekstrem, ada anak kos yang mampu menciptakan menu baru seperti mie instan kuah ditambah sepotong bakwan hasil pinjaman dari piring teman sekamar. (*)


*) Wakil Dekan Kemahasiswaan Fak. Ekonomi Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung, dan veteran anak kos.


@hatipena



 
Top