Para mantan mahasiswa lintas kampus pose bareng di sela Parade Musik Senja Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta (UBH) Padang pada penghujung 2024 lalu. 




Penulis: Wahyu Iryana *)


MAHASISWA itu makhluk Tuhan paling unik. Ia berada di antara dua fase kehidupan—bukan lagi anak SMA yang bermanja-manja, tapi juga belum cukup matang untuk disebut orang dewasa seutuhnya. Maka jadilah ia spesies yang sering kali kocak, absurd dan membingungkan. Bila mahasiswa adalah tokoh wayang, ia adalah Petruk yang suka bercanda, bila mahasiswa adalah binatang, ia adalah kucing kampus yang selalu lapar dan bisa tidur di mana saja.

Kehidupan mahasiswa memang tidak bisa dipisahkan dari komedi. Bahkan di dalam tragedi sekalipun, ada saja kelucuan yang bisa ditemukan. Ini bukan karena mahasiswa kurang serius, tapi karena mereka sudah lelah serius di dalam kelas, sehingga di luar kelas, mereka harus melepaskan stres dengan berbagai tingkah polah yang mengundang tawa.

Lupa, Kebiasaan Sakral Mahasiswa

Ada satu hal yang menjadi sifat bawaan mahasiswa: pelupa. Bukan pelupa terhadap dosa atau mantan, tapi pelupa terhadap tugas dan jadwal ujian.

“Aduh, hari ini ada kuis ya?” tanya seorang mahasiswa di kantin, satu menit sebelum bel masuk.

“Mana aku tahu, aku aja lupa hari ini hari apa,” jawab temannya yang tampaknya lebih religius dalam urusan melupakan tugas.

Kondisi ini membuat mahasiswa memiliki berbagai cara kreatif untuk menghadapi ujian mendadak. Ada yang mendadak religius dengan berdoa lebih khusyuk, ada yang tiba-tiba ingin menjadi sahabat dosen agar bisa dapat kisi-kisi, ada juga yang menatap lembar soal dengan ekspresi sok paham, padahal otaknya sudah “blank” seperti halaman ujian yang ia hadapi.

Namun, tidak ada yang lebih konyol daripada mahasiswa yang datang ke kelas dengan percaya diri, hanya untuk menyadari bahwa ia salah jadwal. Pernah ada seorang mahasiswa yang masuk ke kelas dengan penuh wibawa, duduk di barisan depan, mengeluarkan laptop, lalu menyadari bahwa ia salah masuk mata kuliah. Sayangnya, ia terlalu malu untuk keluar, sehingga ia terpaksa mengikuti perkuliahan itu sampai selesai—meskipun ia sama sekali bukan mahasiswa di kelas itu.

Senjata Pamungkas Bernama Fotokopi

Satu-satunya tempat yang lebih suci daripada masjid kampus adalah tempat fotokopi. Di sanalah mahasiswa berbondong-bondong meminta pertolongan terakhir sebelum ujian.

“Tolong fotokopi catatan ini!” pinta seorang mahasiswa dengan panik.

“Berapa rangkap?” tanya penjaga fotokopi.

“Seperempat aja, biar bisa diselipin di lengan baju.”

Jangan salah, tempat fotokopi bukan hanya tempat reproduksi catatan, tapi juga tempat berbagi nasib. Di sana, mahasiswa yang tidak pernah masuk kelas bisa tiba-tiba akrab dengan mahasiswa rajin. Semua berbagi catatan, semua berbagi pengharapan, semua berbagi kebingungan yang sama.

Namun, nasib tragis sering menimpa mahasiswa yang terlalu percaya pada fotokopian. Ada yang saking paniknya, salah mengambil catatan. Ia baru sadar saat ujian bahwa yang ia bawa bukan materi “Ekonomi Makro,” melainkan “Dasar-dasar Filsafat.” Akhirnya, daripada pusing, ia pun mulai mempertanyakan eksistensinya sendiri di tengah ujian.

Makanan, Sumber Inspirasi dan Keajaiban

Mahasiswa tidak bisa lepas dari makanan murah. Tidak ada mahasiswa yang tidak pernah mencicipi keajaiban warteg atau mie instan tiga kali sehari.

Di satu sisi, mereka paham betul bahwa asupan gizi mereka buruk. Di sisi lain, harga makanan sehat lebih mahal daripada harga martabak telur di tanggal tua.

Seorang mahasiswa pernah berkata, “Aku pengen makan sehat, tapi tubuhku sudah beradaptasi dengan gorengan dan kopi sachet.”

Ada juga mahasiswa yang memiliki filosofi mendalam soal makan di warteg. “Makan di warteg itu seni, kita harus tahu kapan harus bilang ‘udah, Bu’ supaya harga tetap aman.”

Kisah mahasiswa dan makanan ini sering kali berakhir dengan tragedi. Seorang mahasiswa yang mencoba memasak nasi di rice cooker justru mendapati hasilnya mirip bubur. Seorang lagi yang ingin menghemat uang dengan menyimpan ayam goreng selama tiga hari justru harus berkenalan dengan dokter karena perutnya memberontak.

Kisah Cinta di Kampus: Antara Romantis dan Tragis

Cinta di kalangan mahasiswa adalah drama yang tidak ada habisnya. Di satu sisi, ada pasangan yang romantis dan sering ke perpustakaan bersama, meskipun yang satu membaca buku dan yang satu lagi sibuk melihat layar HP. Di sisi lain, ada mahasiswa yang hanya bisa menatap gebetan dari jauh, berharap suatu hari nanti mereka bisa bersama—setidaknya dalam satu kelompok tugas.

Namun, kisah cinta mahasiswa juga penuh penderitaan. Pernah ada seorang mahasiswa yang naksir kakak tingkatnya. Ia sudah berusaha mencari perhatian, mulai dari ikut organisasi yang sama sampai rela duduk bersebelahan di kelas. Sayangnya, setelah berbulan-bulan berjuang, ia baru sadar bahwa kakak tingkatnya sudah punya pacar. Lebih tragis lagi, pacarnya adalah dosen asisten di mata kuliahnya sendiri.

Ada juga mahasiswa yang terlalu sering memberi kode ke gebetan, tapi gebetannya justru mengira ia hanya bercanda. Akhirnya, ia menjadi mahasiswa yang mendalami teori relativitas Einstein: cinta itu relatif, tergantung dari siapa yang melihat.

Jurnal dan Skripsi: Akhir Perjalanan yang Penuh Air Mata

Setelah bertahun-tahun tertawa, menangis, dan menunda tugas, akhirnya mahasiswa harus menghadapi babak terakhir: Jurnal/skripsi.

Skripsi adalah tahap yang membuktikan bahwa mahasiswa itu makhluk penuh semangat—setidaknya di awal. Di awal semester, ia dengan yakin berkata, “Aku harus menyelesaikan skripsiku dalam enam bulan!” Tapi enam bulan kemudian, ia masih berkutat di bab satu, sibuk merapikan font dan margin.

Seorang mahasiswa yang sudah frustrasi pernah berkata, “Menulis Jurnal atau Skripsi itu bukan soal kepintaran, tapi soal siapa yang lebih kuat mental menghadapi revisi.”

Namun, meskipun penuh penderitaan, skripsi juga penuh dengan kisah lucu. Ada mahasiswa yang saking paniknya, justru salah mengirim file ke dosen pembimbing. Bukannya mengirimkan bab tiga skripsi, ia justru mengirim daftar belanja bulanan.

Dan ketika akhirnya skripsi selesai, kebahagiaan mahasiswa tidak bisa diukur. Ada yang merayakannya dengan menangis haru, ada yang makan di restoran mahal, ada juga yang tidur seharian karena akhirnya bisa hidup tanpa mimpi buruk revisi.

Akhir Kata

Mahasiswa adalah makhluk yang penuh cerita. Di balik tugas, ujian, dan revisi skripsi, mereka selalu menemukan cara untuk tertawa.

Mungkin itulah yang membuat masa kuliah selalu dikenang. Sebab, meskipun penuh penderitaan, tidak ada masa yang lebih absurd, penuh tawa, dan penuh kenangan selain menjadi mahasiswa. (*)


*) Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Raden Intan Lampung

 
Top