Oleh: Hj. Hizbiyah Rochim *)
SAYA lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan pentingnya musyawarah, keberanian bersuara dan tanggung jawab terhadap umat. Sebagai putri dari KH. Wahab Chasbullah, saya dididik untuk menjaga nilai-nilai kejujuran dan perjuangan, terutama dalam membela kepentingan organisasi dan masyarakat.
Namun, di usia saya yang hampir 78 tahun ini, ada kegelisahan yang makin kuat saya rasakan—sebuah kegelisahan yang tidak bisa lagi saya pendam.
Muslimat NU adalah rumah saya, rumah kita semua. Sejak muda, saya telah menyaksikan bagaimana organisasi ini menjadi wadah perjuangan perempuan NU, mengangkat harkat dan martabat kaum ibu, serta membangun kepedulian terhadap umat.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat Muslimat NU makin kehilangan ruhnya. Organisasi ini seperti berjalan tanpa arah, lebih sering bergerak untuk kepentingan sesaat dibandingkan benar-benar memperjuangkan kesejahteraan anggotanya.
Ketika saya menghadiri Kongres Muslimat NU kemarin, saya membawa harapan bahwa organisasi ini masih memiliki ruang bagi musyawarah yang sehat, bagi diskusi yang terbuka, bagi perbedaan pendapat yang bisa memperkaya, bukan mengancam.
Dengan hati-hati dan penuh penghormatan, saya mencoba menyampaikan kegelisahan saya: bahwa Muslimat NU harus membuka pintu bagi kader-kader baru, bahwa organisasi ini perlu regenerasi agar tetap hidup dan berkembang.
Namun, sebelum saya sempat menyelesaikan kalimat saya, teriakan mulai terdengar. Suara-suara yang saya kira akan menjadi teman diskusi berubah menjadi tekanan yang menolak kehadiran saya. “Aklamasi! Aklamasi!” teriak mereka, memaksakan hasil yang sudah mereka inginkan sejak awal.
Saya terdiam sejenak, bukan karena takut, tetapi karena sedih. Apakah Muslimat NU yang saya cintai ini sudah benar-benar menutup ruang bagi suara yang berbeda? Apakah organisasi ini masih bisa disebut sebagai rumah bersama, jika hanya satu suara yang boleh didengar?
Saya memandang ke sekeliling ruangan, mencoba mencari mata-mata yang masih memiliki harapan untuk perubahan. Ada yang menunduk, ada yang terlihat ragu-ragu, tetapi tidak berani bersuara.
Saya memahami perasaan mereka. Ketika atmosfer sudah didominasi oleh tekanan dan loyalitas yang berlebihan, banyak yang memilih diam daripada menghadapi risiko dikucilkan.
Hati saya semakin berat. Saya teringat bagaimana ayah saya, KH. Wahab Chasbullah, pernah berjuang untuk menjaga NU tetap hidup dengan keberanian dan keteguhan.
Beliau tidak takut berbeda pendapat, karena bagi beliau, organisasi yang sehat adalah yang berani menerima kritik dan mau berubah untuk kebaikan bersama. Jika beliau masih ada, mungkin beliau juga akan merasakan kegelisahan yang sama dengan saya.
Saya bukan ingin menentang siapa pun. Saya hanya ingin Muslimat NU tetap menjadi organisasi yang hidup, yang memberi ruang bagi generasi baru untuk tumbuh, yang tidak terpaku pada satu figur semata. Kepemimpinan yang baik bukanlah tentang seberapa lama seseorang bertahan di posisi tertentu, tetapi seberapa banyak pemimpin baru yang mampu ia lahirkan.
Saat saya melangkah keluar dari forum itu, saya menyadari satu hal: perjuangan belum selesai. Muslimat NU masih bisa berubah, tetapi perubahan itu tidak akan datang jika tidak ada keberanian untuk memulainya.
Saya mungkin hanya satu suara yang kecil, tetapi saya berharap, suatu hari nanti, suara ini akan menggema di hati para kader-kader muda Muslimat NU yang ingin melihat organisasi ini kembali kepada marwahnya.
Saya tidak menyesali apa yang saya lakukan. Saya hanya berharap, sebelum usia saya habis, saya bisa melihat Muslimat NU kembali menjadi rumah yang terbuka untuk semua, bukan hanya bagi mereka yang sudah mapan dalam kekuasaan. Karena organisasi ini bukan milik perorangan, tetapi milik umat. (*)
*) Ketua PW Muslimat NU DKI Jakarta
@hatipena