Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Kaba “Catuih Ambuih”
DALAM tatanan ekonomi global, aset bukan hanya sekadar uang, emas, properti, atau investasi. Ada aset lain yang lebih subtil tetapi sangat berharga bagi segelintir orang kaya: memelihara kemiskinan. Meskipun terdengar berlebihan, kenyataan di dunia membuktikan bahwa sistem yang ada justru menopang keberlanjutan kemiskinan sebagai bagian dari struktur ekonomi yang menguntungkan segelintir elite.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, harga semangkuk sayuran bisa mencapai 20 dolar, sementara burger cepat saji dapat dibeli dengan hanya 3 dolar. Fenomena serupa terjadi di Meksiko, di mana harga satu botol minuman manis bersoda lebih murah dibandingkan air mineral. Hal ini menciptakan pola konsumsi yang cenderung memilih makanan cepat saji yang murah tetapi tidak sehat, yang berujung pada meningkatnya angka obesitas dan penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.
Siklus Kemiskinan yang Terstruktur
Kesehatan yang buruk kemudian menjerumuskan individu ke dalam ketergantungan pada layanan medis, yang di negara-negara tertentu justru semakin mahal akibat kebijakan asuransi kesehatan yang eksklusif. Bisnis farmasi pun turut memperoleh keuntungan dari meningkatnya angka penyakit di kalangan masyarakat kurang mampu.
Dengan demikian, setiap pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat kelas bawah tidak pernah benar-benar menjadi modal untuk meningkatkan taraf hidup, melainkan hanya habis untuk bertahan dalam sistem yang telah dirancang sedemikian rupa.
Tidak hanya dari sektor kesehatan, jebakan kemiskinan juga dipertahankan melalui pola konsumtif yang dikendalikan oleh mekanisme pasar. Kalangan ekonomi bawah diberikan kemudahan untuk mendapatkan pinjaman dengan akses yang cepat, sering kali tanpa pemahaman finansial yang memadai. Ditambah lagi dengan strategi pemasaran berbasis diskon, mereka terperangkap dalam lingkaran belanja impulsif, membeli barang bukan karena kebutuhan, tetapi karena dorongan psikologis untuk tidak melewatkan kesempatan yang tampak menguntungkan. Akhirnya, siklus ini terus berulang, menciptakan utang yang semakin sulit dikendalikan.
Salah satu sektor yang turut memperdalam ketimpangan ini adalah dunia pendidikan. Biaya pendidikan saat ini bukan hanya terbatas pada uang sekolah atau uang kuliah, tetapi juga berbagai biaya turunan yang harus dikeluarkan. Mulai dari transportasi yang tidak memadai di daerah-daerah tertentu yang memaksa siswa membawa kendaraan pribadi, hingga biaya makan, paket data, dan bagi mahasiswa perantauan, biaya kos atau tempat tinggal.
Semua ini semakin membatasi akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru menjadi instrumen yang memperkuatnya.
Pendekatan ini sesuai dengan gagasan yang diungkapkan oleh ekonom Prancis, Thomas Piketty, dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century, yang menyoroti bagaimana kekayaan cenderung terpusat pada segelintir elite dan semakin memperdalam jurang ketimpangan sosial. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Michel Foucault yang membahas bagaimana kekuasaan menciptakan dan mempertahankan struktur sosial yang menguntungkan bagi pemegang kendali ekonomi.
Peran Pemerintah dalam Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Untuk memutus mata rantai kemiskinan yang telah dirancang secara sistematis ini, pemerintah harus mengambil langkah aktif dan progresif.
Kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat kelas bawah harus diterapkan secara tegas, termasuk regulasi harga pangan sehat agar lebih terjangkau dibandingkan makanan cepat saji. Selain itu, pemerintah harus memperkuat sistem layanan kesehatan publik yang dapat diakses dengan biaya rendah atau bahkan gratis oleh masyarakat kurang mampu.
Di sektor keuangan, regulasi yang lebih ketat terhadap industri pinjaman konsumtif dan praktik pemasaran yang mengeksploitasi masyarakat miskin harus diterapkan.
Edukasi keuangan yang inklusif juga perlu digalakkan agar masyarakat lebih sadar akan pola konsumsi dan utang yang sehat.
Pemerintah juga memiliki peran dalam meningkatkan kesejahteraan melalui kebijakan ketenagakerjaan yang memberikan gaji layak serta perlindungan bagi pekerja sektor informal.
Investasi dalam pendidikan berkualitas yang merata juga menjadi kunci untuk membuka kesempatan lebih luas bagi masyarakat miskin agar mereka dapat keluar dari siklus ketidakberdayaan ekonomi.
Kebijakan subsidi pendidikan yang lebih luas, transportasi umum yang lebih terjangkau, serta akses fasilitas pendukung seperti asrama murah bagi mahasiswa juga dapat menjadi solusi untuk memastikan pendidikan benar-benar menjadi alat mobilitas sosial.
Jika pemerintah berani mengambil langkah-langkah ini, maka kemiskinan yang selama ini dijaga oleh sistem dapat mulai diputus.
Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat kita gunakan untuk mengubah dunia.”
Dengan memahami bagaimana “sistem kemiskinan ” ini bekerja dan dengan adanya intervensi yang tepat dari pemerintah, kita dapat mulai membangun alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.(*)
Padang, 2025