Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


PUKUL sebelas siang. Matahari beringas. Jalan Beringin berdebu. Di sana, seorang perempuan tua berjalan pelan, dua tabung gas kosong di tangannya. Langkahnya berat. Napasnya pendek-pendek.

Namanya Yonih. Usianya 62 tahun. Seorang nenek. Seorang penjual nasi uduk. Seorang yang hidupnya bergantung pada api kompor.

Dia mengantre. Panjang. Panas. Pegal. Lalu, sebuah perintah: “KTP-nya mana?”

KTP? Ia tak membawanya. Maka pulanglah dia. 500 meter. Dua tabung di tangan. Langkahnya makin berat.

Di rumah, ia mengambil KTP. Ia juga sempat membayar sayuran. Kewajiban sebagai pedagang kecil. Lalu, ia kembali ke antrean. Lagi-lagi berjalan. Lagi-lagi membawa tabung gas kosong.

Ia akhirnya mendapatkannya. Sebuah tabung gas hijau. Gas melon, kata orang. Gas kemiskinan, kata yang lebih sinis.

Napasnya pendek. Dadanya sesak. Ia duduk sebentar di laundry dekat pangkalan gas. Lelah. Lalu pulang.

Di rumah, ia pingsan. Gas di tangan. Mulutnya sempat mengucap: “Allahuakbar, Allahuakbar…”

Lalu sunyi.

Ia dilarikan ke rumah sakit. Tetapi ajal lebih cepat. Yonih telah pergi. Mati dalam perjalanan. Mati setelah mendapatkan gas 3 kilogram. Gas terakhirnya.

Kata mereka, gas bersubsidi harus tepat sasaran. Kata mereka, regulasi diperlukan agar rakyat kecil tak dirugikan. Kata mereka, ini demi kesejahteraan bersama.

Tapi lihatlah, seorang nenek harus meregang nyawa demi sebotol api. Sebuah kematian yang begitu sederhana. Sebegitu murahkah nyawa seorang rakyat miskin?

Esok, warung nasi uduk itu tak lagi buka. Gorengan Pak RT tak lagi ada. Kopi pagi yang biasa menghangatkan obrolan di Jalan Beringin kini hanya meninggalkan dingin.

Meninggalkan duka. Meninggalkan tanya. Sebenarnya, siapa yang butuh disubsidi? Rakyat, atau kebijakan? (*)

#camanewak


@hatipena


 
Top