Puisi Esai LK Ara
1
Di Lembah Bur Bies, aku duduk termenung,
di antara gemuruh angin dan doa yang tak bersuara.
Langit membentang seperti kitab tua,
menyimpan kisah keadilan yang terkubur
di bawah nisan waktu.
“Di sinilah dulu para pejuang bersumpah,”
kata seorang lelaki tua di ujung desa.
“Bahwa tanah ini tak boleh diinjak oleh ketidakadilan,
bahwa rakyat tak boleh merintih
di bawah bayang-bayang penguasa yang tamak.”
2
Tapi angin telah berubah arah.
Di tanah ini, suara mereka yang lemah
lebih sering ditelan sunyi.
Janji-janji pemimpin terbang seperti debu,
menempel di dinding rumah yang retak,
lalu hilang bersama hujan pertama.
Seorang ibu mengusap peluhnya,
menghitung hari dengan jari yang lelah.
“Keadilan? Apa itu?
Anakku dipenjara karena lapar,
sedang mereka yang merampas tanah kami
duduk di kursi empuk, tertawa dengan anggur di tangan.”
3
Di masjid tua, zikir masih berkumandang,
menjaga harapan agar langit tak sepenuhnya gelap.
Di warung kopi, lelaki-lelaki bersuara lirih,
membahas nasib yang tak pernah berubah.
Di sekolah reyot, seorang guru bercerita tentang pahlawan,
meski ia sendiri lupa bagaimana rasanya diperjuangkan.
Burung-burung terbang di atas lembah,
menjadi saksi perih yang tak terucap.
Mungkin suatu hari nanti,
keadilan yang tertidur akan terjaga,
bangkit dari tanah yang lama terabaikan.
Tapi sampai hari itu tiba,
aku tetap di sini, duduk di Lembah Bur Bies,
menganyam doa dalam bait-bait sunyi,
menunggu pagi yang lebih adil. (*)
Kalanareh, 2024
@hatipena