Cerpen L K Ara


AKU MASIH menikmati keindahan Danau Laut Tawar di pagi yang cerah. Udara sejuk menyelimuti, dan aroma kopi yang baru diseduh mengiringi harapan yang tersimpan di dalam hati. 

Di tepian danau, nelayan-nelayan bersiap melaut, wajah mereka tersenyum meski hari penuh tantangan sudah menanti. Namun, kabar yang kudengar hari itu menggugah asa; pagar bambu yang dulu membatasi kebebasan ombak, kini mulai dibongkar.

Di sebuah desa nelayan yang terletak di pinggir danau, hidup Pak Salim, seorang nelayan tua yang telah merasakan pahit getir akibat pembatasan yang dibuat oleh segelintir orang kaya yang ingin menguasai lautan.

Selama bertahun-tahun, pagar bambu itu menjulang, menghalangi perahu-perahu kecil berlayar, dan membatasi jalan para nelayan untuk mencari nafkah. “Dulu, alam itu seperti sahabat bagi kami. Tapi kini, dinding-dinding itu membuat ombak tak lagi bebas,” bisik Pak Salim pada waktu senja, tatapannya mengarah pada horizon yang jauh.

Semua itu berubah ketika seorang pemimpin, yang dikenal sebagai Pak Jaya, datang dari ibukota. Pak Jaya memiliki hati yang besar dan selalu mendengar rintihan rakyat kecil. Dalam rapat desa yang penuh haru, ia menyampaikan keputusan untuk membongkar pagar bambu yang selama ini memenjarakan lautan. “Kita tak boleh membiarkan keserakahan menguasai hak kita untuk hidup. Alam itu anugerah, dan ia harus bebas mengalir,” tegasnya dengan keyakinan yang menular.

Hari itu, sinar mentari seolah membawa keajaiban. Dengan bantuan para pekerja dan sukarelawan dari desa, pagar bambu yang telah lama menjadi simbol penindasan mulai diruntuhkan. Setiap pancang yang tumbang diiringi sorak-sorai dan air mata bahagia. Nelayan yang sebelumnya terpaksa mencari rejeki dengan langkah tertatih kini kembali mengayuh perahu mereka dengan semangat baru. Suara ombak yang dulu terkungkung kini kembali menyatu dengan alam, menyanyikan lagu kebebasan yang telah lama hilang.

Di antara riuh gembira itu, Pak Salim berdiri termenung di tepi air, mengingat kembali masa-masa sulit ketika dinding-dinding itu menghalangi setiap langkahnya. Ia teringat ketika rejeki terasa begitu jauh, dan keputusasaan menghimpit hati. Namun kini, ketika ombak kembali bebas, ia merasakan kehangatan yang melampaui rasa sakit. “Mungkin inilah saatnya kita menulis kembali kisah hidup, di mana alam dan manusia hidup dalam harmoni,” gumamnya lirih sambil memandangi ombak yang menghapus jejak-jejak dinding.

Namun, kisah ini tak berakhir di situ. Di balik keberhasilan pembongkaran pagar bambu, tersimpan kenangan pahit tentang mereka yang pernah mencoba menaklukkan lautan demi ambisi semu. Mereka yang pernah membangun dinding serakah kini harus menghadapi hukum alam, yang tak pernah berpihak pada kezaliman. Ombak, dengan segala kekuatannya, telah menorehkan keadilan, menghapus batas yang dibuat oleh tangan-tangan tamak.

Malam pun tiba, dan bintang-bintang menyinari danau dengan kilauan yang seolah menyampaikan pesan abadi. Di bawah langit yang tak berbatas, warga desa berkumpul di tepi air untuk merayakan kebebasan yang telah lama dinantikan. Mereka bernyanyi, menari, dan berbagi harapan, yakin bahwa keadilan telah menemukan jalannya. “Biarlah dinding serakah itu menjadi pelajaran, agar kita tak pernah lupa arti sejati kehidupan dan kebebasan,” ujar seorang pemuda dengan penuh semangat.

Kisah itu mengalir seperti ombak yang tak pernah berhenti, meninggalkan jejak di hati setiap insan yang menyaksikannya. Alam, dengan segala keanggunannya, kembali membuktikan bahwa ia tak perlu dikurung. Setiap riak dan desir angin adalah saksi bisu bahwa keadilan, meskipun terlambat datang, selalu menemukan jalannya. (*)


@hatipena




 
Top