Oleh: Rizal Tanjung


AGAMA bukanlah sekadar fenomena sosial atau kajian akademis yang bisa disimpulkan melalui teori dan ideologi semata. Ia tidak bermula dari tafsir intelektual, melainkan dari keyakinan yang berakar dalam hati para pemeluknya. Oleh karena itu, agama tidak dapat dihakimi oleh teori atau ideologi mana pun, karena keberadaannya melampaui batas-batas rasionalitas dan metodologi ilmiah.

Sejarah menunjukkan bahwa berbagai pemikir telah berusaha menjelaskan agama melalui pendekatan sosiologi, ekonomi, atau psikologi. 

Marx melihatnya sebagai instrumen kelas, Durkheim menekankan fungsi sosialnya, Weber menghubungkannya dengan etos kerja dan kini Denny JA mengaitkannya dengan era digital dan kecerdasan buatan. Semua pendekatan ini memberikan perspektif, tetapi tidak menggantikan esensi agama itu sendiri: kepercayaan dan pengalaman spiritual.

Kemajuan teknologi, termasuk AI, memang mengubah cara manusia mengakses dan memahami agama. Namun, agama bukan hanya kumpulan informasi yang dapat dianalisis oleh algoritma.

Ia adalah jalan spiritual yang bersifat transendental, yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan atau teori akademik. 

AI mungkin dapat menyusun tafsir dan memberikan wawasan lintas budaya, tetapi tidak dapat menggantikan pengalaman beragama itu sendiri—doa, ketenangan batin, dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa.

Agama tidak bergerak dalam ruang logika semata, tetapi dalam ruang keyakinan. Teori dan ideologi mungkin dapat mempengaruhi cara seseorang menafsirkan agama, tetapi tidak bisa menjadi hakim atasnya.

Pada akhirnya, agama bermula dan berakhir pada kepercayaan individu dan komunitas yang menjalaninya. Teknologi bisa berkembang, teori bisa berubah, tetapi keyakinan tetap menjadi hakikat yang tak tergantikan. (*) 


@hatipena



 
Top