Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
Mahasiswa demo, biasa! Gimana kalau justru dosennya yang demo? Luar biasa. Apalagi yang didemo soal hak. Kalau soal hak, apa pun dilakukan, wak!
Ribuan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) turun ke jalan. Ya, dosen. Bukan buruh, bukan mahasiswa yang ingin diskon UKT, bukan emak-emak yang marah gas melon 3kg susah didapat. Dosen, wak! Orang-orang yang mengajarkan kita bagaimana cara berpikir kritis, kini justru harus turun ke aspal demi sesuatu yang seharusnya sudah mereka miliki, tunjangan kinerja alias Tukin.
Dengan semangat akademisi yang membara dan toga tak kasatmata di kepala, mereka berbaris di kawasan Monas, Senin (3/2/2025). Pakaian putih mereka melambangkan kesucian hati atau mungkin hanya simbol bahwa mereka sudah lelah dan siap menyerah.
Koordinator Aksi Tuntut Tukin (ADAKSI), Anggun Gunawan, berbicara dengan suara lantang. “Kalau Tukin tak cair, kami mogok!” katanya, penuh tekad. Sebuah ancaman yang mungkin akan membuat mahasiswa bersorak riang. Bayangkan, tanpa dosen, tak ada bimbingan skripsi, tak ada revisi, dan yang terpenting, tak ada sidang! Endingnya, tak ada wisuda.
Namun, ini bukan sekadar mogok biasa. Ini mogok yang memiliki tujuan mulia. Mereka memperjuangkan hak yang sudah lama tertahan entah di mana. Sejak 2020, sekitar 80.000 dosen masih menunggu janji manis pemerintah. Seperti mahasiswa yang menunggu nilai keluar di portal akademik, mereka berharap, tetapi terus dikecewakan.
Pemerintah berdalih hanya punya Rp2,5 triliun. Angka yang fantastis jika dibandingkan dengan harga ayam geprek di kantin. Tapi jika harus dibagi untuk 80.000 dosen? Ah, rasanya seperti membagi satu tahu bulat untuk satu RT. Tidak cukup, wak!
Tak hanya ancaman mogok, para dosen juga menyiapkan langkah hukum. PTUN menjadi tujuan berikutnya. Mungkin mereka sudah muak dengan strategi diplomasi ala seminar nasional yang hanya berakhir dengan sertifikat dan foto bersama. Kini, mereka membawa semangat akademisi ke meja hukum.
Di lapangan, aksi ini berlangsung khidmat. Mobil komando siap. Petugas kepolisian membangun barikade. Dosen-dosen berbaris rapi, seperti mahasiswa yang antre tanda tangan dosen wali di akhir semester. Mereka tak hanya membawa tuntutan, tapi juga harapan.
Karena tanpa dosen, negeri ini akan kehilangan banyak hal. Tak ada yang membimbing mahasiswa dengan skripsi berjudul “Analisis Semiotik pada Meme Receh di Instagram”. Tak ada yang memberikan catatan revisi lebih panjang dari skripsinya sendiri. Yang paling fatal, tak ada lagi kalimat sakti, “Coba baca jurnal dulu ya.”
Wahai penguasa negeri, bayarlah Tukin mereka! Sebelum generasi penerus bangsa hanya tahu cara membuat TikTok, tetapi tak tahu cara menulis daftar pustaka dengan benar. (*)
#camanewak
@hatipena