Cerpen Mitha Pisano
PADA suatu pagi, di sebuah desa bernama Sukarami, suasana di warung Pak Udin tampak lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ada diskon atau dagangan baru, akan tetapi karena kelangkaan gas elpiji 3 kg yang mulai meresahkan masyarakat.
“Saya sudah pergi ke tiga warung, Pak Udin. Masa iya gas habis semuanya?” keluh Bu Rina, seorang ibu rumah tangga yang biasa berbelanja di warung itu.
Pak Udin pun menghela napas panjang. “Iya, Bu. Saya juga kesulitan. Biasanya saya seminggu dapat 50 tabung, sekarang cuma 20. Itu pun cepat habisnya!”
Para pelanggan lain pun ikut bersuara. Mereka semuanya mengeluh karena harus memasak pakai kayu bakar, ada juga yang resah karena usaha kecil mereka terancam mandek. Harga gas di pengecer sudah mulai naik hampir dua kali lipat dari harga resmi.
“Kalau begini terus, usaha gorengan saya bisa bangkrut!” kata Bang Heri, pedagang bakwan dan pisang goreng.
Di tengah keributan itu, muncullah Pak Budi, salah seorang warga yang dikenal sangat sering mengkritik kebijakan pemerintah desa. “Kita harus cari tahu, kenapa gas sampai bisa langka? Atau jangan-jangan ada yang menimbun dan malah dipakai yang bukan haknya!” katanya lantang.
Pak Udin, Pak Budi, dan beberapa warga lain berinisiatif untuk mencari tahu apa penyebab kelangkaan ini. Mereka mendatangi agen resmi gas elpiji di desa sebelah.
“Benar, stok kami dikurangi,” ujar Pak Ridwan, pemilik agen. “Katanya ada pengurangan kuota dari distributor.”
Akan tetapi, Pak Budi tidak begitu saja percaya. Ia menemukan fakta bahwa beberapa restoran besar dan industri rumahan menggunakan gas 3 kg yang seharusnya hanya untuk warga miskin.
“Itu lihat, rumah makan besar di ujung jalan. Mereka pakai gas subsidi!” bisik Pak Budi kepada warga lainnya.
Tak hanya sampai disitu, desas-desus mulai beredar bahwa ada oknumlah yang menimbun gas untuk mereka jual dengan harga yang lebih tinggi. Beberapa warga pun mengaku melihat truk gas berhenti di gudang kosong sebelum sampai ke agen resmi.
“Kalau ini benar, kita harus melaporkannya ke pemerintah!” seru Bu Siti, seorang pedagang nasi uduk yang merasa dirugikan oleh kelangkaan gas elpiji ini.
Dari tingkat desa hingga kabupaten, masalah ini mulai mencuat. Pemerintah daerah turun tangan dengan melakukan inspeksi mendadak ke beberapa agen dan pengecer. Beberapa oknum terbukti melakukan penimbunan, akan tetapi tetap saja, distribusi gas belum kembali normal.
Seiring dengan kelangkaan gas, muncul wacana baru dari pemerintah pusat: menghapus gas subsidi 3 kg dan akan menggantinya dengan bantuan langsung tunai (BLT).
“Wah, kalau gas subsidi dihapus, kita akan semakin susah. Harga gas non-subsidi itukan mahal!” keluh Bu Rina.
Akan tetapi, ada juga sebagian warga yang mendukung kebijakan itu. “Kalau BLT tersebut benar-benar diberikan langsung, mungkin subsidi akan lebih tepat sasaran,” ujar Pak Ridwan, pemilik agen.
Pada saat itu di sisi lain, pengecer mulai menaikkan harga seenaknya. “Kita juga beli dengan harga lebih mahal dari agen, mau gimana lagi?” bela salah seorang pengecer di pasar.
Protes mulai bermunculan. Para warga pun berunjuk rasa di kantor desa, meminta pemerintah intuk menstabilkan harga dan stok gas. Media sosial juga ikut ramai dengan keluhan para netizen yang mengalami hal serupa di berbagai daerah.
Akibat kelangkaan gas elpiji ini, banyak usaha kecil yang gulung tikar. Pedagang-pedagang gorengan, warung-warung nasi, hingga penjual mie ayam pun harus menaikkan harga atau mencari alternatif lain.
Sementara itu, ada beberapa warga kembali ke cara tradisional: memasak dengan kayu bakar atau minyak tanah, meskipun itu sedikit sulit dan tidak praktis.
Di tengah-tengah polemik ini, pemerintah mulai menerapkan sistem distribusi tertutup: hanya warga yang terdaftar dalam data penerima subsidi yang boleh membeli gas 3 kg dengan harga murah. Akan tetapi, sistem ini tidak berjalan dengan mulus karena banyak data yang tidak valid.
“Ada warga miskin yang seharusnya dapat malah nggak dapat subsidi, tetapi yang kaya masih bisa beli gas murah,” keluh Pak Budi.
Keadaan ini belum menemukan titik terang. Apakah distribusi gas akan kembali lancar? Ataukah masyarakat kecil yang kurang mampu harus terus berjuang menghadapi harga yang semakin mahal?
Yang pasti, di warung Pak Udin dan banyak warung lainnya, tabung hijau kecil itu masih menjadi barang yang makin susah didapat.
Bukittinggi, 4 Februari 2024
@hatipena