Cerpen Pipiet Senja


Anno, 2012

Demi anak apa pun akan rela dilakukan seorang ibu. Begitu niatan awalnya.


Faktanya setelah dewasa anak malah menyesali sikap tersebut. Ketika akhirnya si ibu memutuskan cerai, setelah bertahan selama puluhan tahun.


Anak seketika sama lantang berkata; “Naaaaah begitu dong, Mama. Kenapa gak dari dulu?”


“Saatnya Mama menikmati kebahagiaan sendiri,” ujar Butet, putriku nan sangat berbakti.


Ia selalu bisa kuandalkan jika kumat sakitku.


“Mama malas urus cerainya,” kataku jujur.


“Santai saja, Ma. Kan ada Butet.”


Saat itu ia sudah wisuda S-1 dari FHUI. Sudah bekerja di hukumonline.


“Tahu gak Ma, Papa tampak bahagia waktu tandatangani surat keterangan persetujuan cerai itu,” lapornya kemudian.


“Oh, syukurlah kalau begitu,” gumamku lega.


Selama empat kali sidang dia memang tak pernah hadir.


Sesungguhnya prosesnya lancar saja. Sempat Sang Hakim membujuk, agar aku mempertimbangkan untuk cabut gugatan.


“Pensiunan PNS kan itu si Bapak, ya Bu?”


“Iya, dia pensiunan dari DepKes.”


“Sayang sekali kan, Bu. Kalau dia tiada pun Ibu akan dapat pensiunnya….”


Detik itu rasanya kepingin muntah saja. Kutahankan perasaan sedemikian rupa untuk menjelaskan situasiku.


“Bu Hakim, sejak awal nikah saya mandiri, cari nafkah sendiri. Tak pernah mengandalkan gajinya. Bahkan saya tak tahu berapa gajinya….”


“Pekerjaan Ibu apa?”


Nah, akhirnya baru kubuka profesiku sebagai; “Saya seorang penulis Indonesia. Nama pena saya Pipiet Senja….”


“Oooòh! Anda Pipiet Senja!”


Eng ingin eeeeeng!


Akhirnya tok, tooook, toòok saja!


Palu Hakim diketok, putusan cerai disahkan. Harus bayar Iwadl Rp20 ribuan. Ketika beres kubayar administrasinya, barulah adikku Rosi mengingatkanku.


“Seingatku emas kawin ya diutang. Memang sudah dibayar, Teteh?”

Aku pun terperangah hebat.


“Belum tuh….”


Entah mengapa mendadak kami tertawa geli. Menertawakan kealpaan atau kedunguan, eaàaa?


Sejak pisah itulah si aku ini, berkelana dengan buku ke berbagai negara. Alhamdulillah. (*)


@hatipena




 
Top