SEBUAH karya seni tidak hanya bisa menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan. Ia dapat melampaui batasan hiburan dan masuk ke dalam ranah identitas, status, bahkan kekuasaan budaya. Sama seperti Rolex yang tidak menjual jam tangan tetapi prestise, seni yang hebat tidak hanya menjual keindahan visual atau harmoni suara, tetapi juga makna, pemikiran dan relevansi sosial.
Pada titik tertentu, seni bisa menjadi sesuatu yang wajib diikuti—bukan hanya karena kualitasnya, tetapi karena ia telah menjadi simbol keberadaan seseorang dalam peta sosial. Tidak menonton film dari seorang sutradara tertentu, tidak menghadiri pameran seniman tertentu, atau tidak mendengarkan musik dari musisi tertentu bisa membuat seseorang merasa tertinggal. Seperti halnya konser ” Metallica ” yang penuh sesak bukan hanya karena musik mereka bagus, tetapi karena mereka telah menjadi ikon global—sebuah bagian dari budaya populer yang membuat orang merasa bahwa kehadiran mereka di sana adalah sebuah pernyataan sosial.
Tetapi bagaimana seni bisa mencapai titik itu?
Kualitas, Konsistensi, dan Relevansi: Pilar Karya yang Bertahan
1. Kualitas yang Tak Bisa Ditawar
Seniman seperti Leonardo da Vinci, Beethoven, hingga sutradara seperti Christopher Nolan dan Hayao Miyazaki bukan hanya terkenal karena mereka produktif, tetapi karena mereka memiliki standar tinggi yang tak bisa dikompromikan. Mereka tidak sekadar membuat karya yang “bagus,” tetapi karya yang tak tergantikan. Karya mereka bukan hanya menghibur, tetapi juga mengundang refleksi, diskusi, bahkan perdebatan intelektual.
2. Konsistensi dan Evolusi
Seorang seniman besar tidak cukup hanya menciptakan satu karya fenomenal, tetapi harus mampu mempertahankan relevansi dari waktu ke waktu. The Beatles tidak hanya populer karena lagu-lagu mereka, tetapi karena mereka terus berkembang, bereksperimen, dan menguasai zaman. Evolusi ini yang membuat mereka tetap hidup dalam sejarah musik.
3. Relevansi dengan Isu Zaman
Karya yang besar adalah karya yang berbicara kepada publiknya. Film seperti Parasite (Bong Joon-ho) mendapatkan pengakuan global bukan hanya karena kualitas sinematiknya, tetapi karena ia menyentuh realitas sosial tentang kesenjangan ekonomi yang begitu relevan dengan zaman ini. Seni yang berbicara tentang dunia di sekitarnya akan selalu memiliki tempat dalam sejarah.
Pendapat dari filsuf seni Arthur Danto menegaskan hal ini:
“Seni yang hebat bukan hanya sesuatu yang estetis, tetapi juga sesuatu yang memiliki makna dalam konteks sosial dan sejarahnya.”
Dengan kata lain, seni yang bertahan bukan hanya yang indah, tetapi yang mampu menangkap zeitgeist—jiwa zaman.
Dari Konsumen ke Produsen: Seni sebagai Alat Pembebasan atau Penjara Kultural?
Namun, di sisi lain, ada kekuatan lain yang bekerja dalam dunia seni dan hiburan. Seni bisa menjadi alat pencerahan, tetapi juga bisa menjadi alat pengalihan.
Ada teori yang menyebut bahwa sistem sosial yang ada saat ini justru mendesain manusia untuk menjadi konsumen yang baik, bukan produsen yang kritis. Bagaimana caranya?
Memberikan Kenyamanan yang Melenakan
Hiburan murah, video game tanpa akhir, makanan cepat saji, dan konten yang berlebihan menciptakan ilusi kebebasan—padahal sebenarnya hanya membuat seseorang lupa bahwa ia sedang “terjebak.” Seperti yang dikatakan Aldous Huxley dalam Brave New World,
“Kenyamanan adalah senjata paling ampuh untuk menundukkan manusia. Jika mereka terlalu nyaman, mereka tidak akan pernah bertanya mengapa.”
Membentuk Pola Konsumsi, Bukan Produksi
Seberapa banyak orang yang menghabiskan waktu berjam-jam menonton Netflix dibandingkan menciptakan sesuatu? Seberapa sering orang membeli produk budaya dibandingkan mencoba membuatnya sendiri? Sistem ini terus berulang, membuat manusia merasa cukup dengan menjadi penikmat, bukan pencipta.
Menjaga Orang Tetap Sibuk, tetapi Tidak Berpikir.
Dalam teori sosiologi, ada istilah “Bread and Circuses”—di mana masyarakat diberikan roti (kenyamanan) dan sirkus (hiburan) agar mereka tidak mempertanyakan struktur kekuasaan yang mengontrol mereka. Semakin banyak hiburan tanpa substansi yang dikonsumsi, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk berpikir kritis.
Seperti dalam kutipan terkenal:
“Cara terbaik untuk menjaga seseorang tetap dalam tahanan adalah dengan membuatnya tidak sadar bahwa ia sedang dipenjara.”
Membangun Narasi yang Kuat: Seni sebagai Identitas dan Kekuasaan
Lalu, bagaimana caranya agar seni bisa melampaui sekadar hiburan dan menjadi sesuatu yang memiliki dampak besar?
Ciptakan Narasi yang Kuat:
Seni yang bertahan adalah seni yang memiliki cerita di baliknya. Mengapa Star Wars menjadi lebih dari sekadar film? Karena ia membawa mitologi, filosofi, dan narasi yang melekat dalam budaya populer.
Jangan Takut Mengganggu Status Quo:
Karya yang besar sering kali lahir dari keberanian untuk melawan arus. Banksy, misalnya, tidak hanya menciptakan seni jalanan yang estetis, tetapi juga menyelipkan kritik tajam terhadap sistem kapitalisme dan politik global.
Jadikan Seni sebagai Identitas, Bukan Sekadar Produk:
Seni yang besar bukan hanya dinikmati, tetapi dihidupi. Seperti halnya konser ” Metallica” yang menjadi bagian dari identitas generasi tertentu, seni harus bisa menciptakan ekosistem di mana orang merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Menjadi Arsitek Peradaban, Bukan Sekadar Pekerja
Pilihan selalu ada di tangan para seniman dan kreator: apakah kita hanya ingin menjadi pekerja yang memproduksi tontonan, atau menjadi pencipta nilai yang membentuk peradaban?
Seni yang besar tidak hanya dinikmati, tetapi juga mengubah cara pandang manusia terhadap dunia. Ia bisa menjadi candu yang menidurkan, atau menjadi senjata yang membangunkan kesadaran.
Sejarah telah menunjukkan bahwa seni yang benar-benar bertahan bukanlah yang hanya memenuhi permintaan pasar, tetapi yang berani menantang pemikiran, mengusik kenyamanan, dan menawarkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar hiburan.
Maka pertanyaannya bukan lagi “Apakah seni bisa mencapai titik itu?”—karena jawabannya jelas bisa. Pertanyaannya adalah: Apakah kita siap untuk menciptakannya? (*)
Padang, 16 Februari 2025
@hatipena