Penulis: Rosadi Jamani *)
ANGIN sore berembus lembut di balkon rumah sakit Daejeon Eulji University Medical Center. Dari kejauhan, Chungmu Gymnasium berdiri kokoh, seolah memanggil mereka untuk kembali ke lapangan. Namun, di atas kursi roda, Vanja Bukilic dan Park Eunjin hanya bisa menatapnya dalam diam.
Lutut Buki masih terasa nyeri meskipun Mak Leha di Pontianak sudah mengurutnya dengan penuh kasih. Ia masih ingat suara lembut Mak Leha, “Ini bukan akhir, Nak. Ini cuma ujian kecil sebelum kau kembali lebih kuat.” Kata-kata itu terus terngiang, tapi hatinya tetap gelisah.
Sementara itu, Eunjin baru sehari di sini. Kakinya masih diperban, tapi yang lebih sakit adalah perasaannya. Seharusnya ia ada di sana, bertarung bersama Megawati, Dabin, dan yang lainnya. Tapi kini, ia hanya bisa duduk di sini, menonton mereka dari jauh.
“Kita seharusnya di sana,” suara Eunjin lirih, hampir seperti gumaman.
Buki mengangguk. “Iya… Bukan di sini. Bukan jadi penonton.”
Mereka terdiam cukup lama. Di bawah langit yang mulai temaram, mereka bisa membayangkan suasana di Chungmu Gymnasium, suara sepatu berdecit di lantai kayu, bola yang memantul cepat, teriakan semangat dari Ko Hee-jin. Mereka ingin berada di sana. Mereka ingin berjuang, bukan hanya menjadi beban bagi tim.
“Kita mengecewakan mereka,” ujar Eunjin, matanya mulai berkaca-kaca.
Buki menarik napas panjang. “Megawati pasti kelelahan. Jeon Dabin… Dia masih butuh banyak pengalaman. Hye Seon harus memimpin tim yang pincang. Hoyoung, Seungju, Nohran… Mereka pasti bekerja lebih keras dari biasanya.”
Mereka saling berpandangan, menyadari hal yang sama. Red Sparks sedang berjuang. Mereka? Hanya bisa duduk di sini, meratapi nasib.
“Aku benci perasaan ini,” Eunjin mengepalkan tangannya. “Aku ingin kembali secepatnya.”
“Tapi kita harus sabar,” Buki menatap langit. “Kalau kita memaksakan diri, mungkin kita tak akan pernah bisa kembali.”
Mata Eunjin mulai basah. Ia tahu Buki benar. Tapi perasaan bersalah itu terus menghantuinya. Bagaimana jika Red Sparks gagal ke babak playoff? Bagaimana jika mereka kalah karena kehilangan dua pemain pilar?
Sinar lampu mulai menyala di Chungmu Gymnasium. Di sana, tim mereka sedang berlatih, berkeringat, bertarung. Tanpa mereka.
Angin malam mulai dingin. Buki menarik selimut di pangkuannya. “Eunjin…” ia berkata pelan. “Kita akan kembali. Aku janji. Tapi untuk sekarang, biarkan mereka berjuang. Kita percaya pada mereka, seperti mereka percaya pada kita.”
Eunjin mengangguk, meski dadanya masih sesak. Mereka mungkin tak bisa berada di sana malam ini. Tapi mereka tetap bagian dari Red Sparks. Luka ini, rasa sakit ini… Semua akan menjadi bagian dari kisah mereka.
Ketika saatnya tiba, mereka akan kembali. Bukan sebagai beban, tapi sebagai pejuang.(*)
Hanya fiksi dari seorang tukang ngopi.
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar