Penulis: Rosadi Jamani *)


RUMAH besar itu terasa sunyi, meskipun lampu kristalnya masih menyala terang. Sofa mahal, vas bunga impor dan aroma wangi dari lilin aromaterapi tetap sama seperti kemarin. Tapi bagi Endang, semua yang ada di rumah ini kini terasa asing. Tangannya gemetar memegang remote televisi. Wajah suaminya, Yaya Kusmaya, terpampang di layar, diborgol dan diapit petugas Kejaksaan Agung.


“Yaya Kusmaya, pejabat tinggi Pertamina, bersama delapan tersangka lainnya, resmi ditahan oleh Jampidsus Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun rupiah.”


Remote itu terjatuh. Endang tak bisa bernapas. Dadanya sesak. Air mata meleleh begitu saja. Rasanya seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.


“Ya Allah… Mas Yaya…” suara Endang bergetar, tangannya menutupi mulutnya. Ini tidak mungkin. Suaminya yang selama ini begitu dihormati, seorang pejabat sukses dengan gaji miliaran per bulan, kini dicap sebagai koruptor.


Dengan panik, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Firman, putra sulungnya yang sedang kuliah di Bandung.


“Fir… pulang sekarang, Nak… Papa… Papa ditangkap…”


Suara Firman terdengar terkejut. “Apa? Papa ditangkap?!”


“Tolong pulang, Nak… Mama nggak tahu harus gimana…”


Air mata Endang kembali jatuh. Tangannya yang satunya mencoba menghubungi Erika, anak perempuannya yang sedang healing bersama teman-temannya. Suaranya pecah saat berbicara.


“Erika… pulang, Nak… Papa—Papa kita ditangkap!”


“Hah?! Apa? Papa?!” Erika terdengar panik. “Ya Allah, Mama, ini beneran?! Aku pulang sekarang! Aku nggak percaya!”


Tak sampai dua jam, Firman tiba dengan wajah panik. Erika menyusul kemudian. Begitu melihat ibunya yang masih terguncang, Erika langsung memeluknya erat, air matanya bercucuran.


“Mama… ini beneran? Papa beneran ditangkap?”


Endang mengangguk lemah. Matanya masih terpaku pada layar televisi, di mana berita itu terus diputar berulang-ulang.


Firman duduk di sofa, menundukkan kepalanya. Wajahnya yang selama ini selalu terlihat tenang kini penuh dengan kebingungan dan amarah. “Ini nggak mungkin, Ma. Papa nggak mungkin kayak gitu. Pasti ada yang salah. Kita harus cari tahu!”


“Tapi, Bang… semua orang udah tahu…” Erika terisak. “Teman-temanku pasti lihat. Gimana kalau mereka mulai ngejek aku? Gimana kalau kita dihina?”


Endang menatap anak-anaknya dengan mata merah. Suaranya pelan tapi penuh kepedihan. “Mama juga nggak tahu, Nak… Mama pikir, selama ini kita punya segalanya. Uang, rumah, mobil, semua yang orang lain impikan… Tapi lihat sekarang… Semua ini nggak ada artinya tanpa Papa… Kita kehilangan Papa… Kita kehilangan harga diri…”


Erika kembali menangis. “Aku nggak sanggup, Ma…”


Firman menghela napas panjang, lalu meraih tangan ibunya dan adiknya, nmenggenggamnya erat. “Tapi kita masih punya satu sama lain. Kita harus kuat.”


Endang dan Erika menatapnya. Isakan mereka masih terdengar, tapi kini ada sesuatu yang berbeda di mata mereka. Ada ketakutan, ada kepedihan, tapi juga ada kesadaran, bahwa ini baru permulaan dari badai yang akan mereka hadapi.


Dislaimer: Ini hanya fiksi. Bila ada kesamaan nama, hanya kebetulan.(*)


#camanewak


*) Ketua Satupena Kalbar 




 
Top