Penulis: Mila Muzakkar


(Remaja perempuan di Pemalang Jawa Tengah, 13 tahun, mengancam ibunya dengan pisau karena tak dibelikan skincare) (1)


Suasana kelas gaduh,

mantra-mantra kecantikan menggema di tembok-tembok kelas.

Bu Lilis, guru IPA, tak kunjung terlihat batang hidungnya.


Seperti bunga yang baru mekar,

remaja berseragam putih-biru itu terus mencari cahaya agar bersinar.

Di depannya, rupa-rupa skincare dan make up berhamburan.

Pada benda-benda itu,

mereka menggantung asa, menjadi putri di negeri dongeng.


“Guys, liat deh skincare baru aku.

Terbaru nih. Udah terbukti glowing dipake artis-artis,” Jesika, anak Kepada Dinas Perhubungan memulai mantranya.


Bagai perlombaan yang tak ada garis finish-nya,

Giliran Lili, anak kepala sekolah, yang berucap mantra.

“Kalau aku beli make up ini, kemarin rame di TikTok. Nggak mau ketinggalan dong, aku beli satu set make up sama skincare-nya.”


Mira, di bangku pojok belakang, menyaksikan.

Matanya menari-nari,

mencari celah, bisakah hinggap di antara bunga-bunga yang mekar itu.


Ia juga bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Menjadi putri di negeri dongeng adalah impiannya juga.

Seperti bintang jatuh dari langit yang tak bisa ia genggam,

mantra-mantra kecantikan itu bukan miliknya.


Ayah Mira hanya seorang pencari rumput,

Ibunya, sesekali cuci-gosok di komplek perumahan elit di kota Pemalang.


Malam itu, Mira berselancar di layar kaca.

Di sana, lautan tutorial kecantikan mengalir deras.


Mira tak bisa membendungnya,

Setiap tutorial kecantikan yang dilihatnya adalah tiket ajaib yang akan mengantarkannya pada obrolan teman-temannya.

Bagaimana pun, Mira adalah bunga yang ingin mekar di tengah bunga-bunga indah lainnya.

Ia terhempas dalam arus lautan standar kecantikan.


Remaja perempuan itu seperti layang-layang di angin pujian,

Ia terbang tinggi, tapi tetap tergantung pada benang penilaian orang lain.

Tombol like, comment, dan respost, adalah simbol kesempurnan.


Tekadnya sudah bulat,

Pada aplikasi orange, jemari kecilnya menekan tombol “pesan sekarang.”

COD adalah pilihannya,

Pada orangtuanya, ia akan meminta bayarannya.


Siang itu, matahari begitu terik,

membakar semangat Mira.

Skincare pesanannya menari-nari di kepalanya,

kakinya tak menyentuh tanah, ia melesat cepat menuju rumah gubuknya.


Gayung bersambut,

Di depan kebun halaman rumahnya, paket skincare tiba.

Mira melompat girang,

“Ibu, minta dua puluh ribu. Mau bayar paket,” teriaknya dari luar.


Tergopoh-gopoh ibunya keluar.

“Ndok, Ibu ndak ada uang. Tunggu bapakmu pulang, Nak!”

Ibu paruh baya itu membujuk.


“Ya ndak bisa dong Bu. Ini COD, kalo paketnya datang, harus langsung bayar,” Mira melempar tas sekolahnya ke tanah.


Remaja perempuan itu kebakaran jenggot.

Berlari ia ke dapur, secepat kilat ia kembali ke teras,

Pisau dapur ditodongkannya ke perempuan pemilik Rahim tempatnya berasal.


Ia seperti serigala muda yang menggigit induknya sendiri,

Mira lupa pada kasih sayang yang telah menghidupinya.

Surga kecantikan t’lah menutup mata hatinya.


Cantik itu, seperti kutukan yang diwariskan turun-temurun.

Ia seperti air yang tampak jernih,

tetapi di dalamnya tersembunyi arus yang menyeret perempuan ke lembah kesedihan.


Cantik itu, seperti pisau bermata dua.

Diangung-agungkan sejak dulu, tapi membelenggu kebebasan setiap perempuan,

Terlihat Indah di luar, tapi menanam luka di dalam. (*)


Depok, 6 Februari 2025


Catatan

Puisi esai ini ditulis dengan bantuan AI


@hatipena




 
Top