Oleh: Uten Sutendy *)
AKSI demonstrasi dengan tagline “Indonesia Gelap” yang dilakukan sekelompok mahasiswa di Jakarta beberapa waktu lalu mengagetkan banyak hati dan pikiran publik.
Kekagetan itu bisa dimaklumi mengingat aksi tersebut dilakukan saat Indonesia baru saja menyelesaikan pesta demokrasi Pilpres dan sukses melahirkan seorang Presiden Prabowo Subiyanto yang berani dan rajin melakukan banyak gebrakan di ke 100 hari masa kerjanya. “Kok bisa dibilang Indonesia Gelap? Gelap apanya?” Kira-kira begitulah pertanyaan yang muncul di ruang -ruang publik.
Sebelumnya memang ada banyak sekali isue -isue yang diangkat oleh sebagian kecil kelompok kritis masyarakat termasuk oleh mahasiswa dalam aksi “Indonesia Gelap.”
Di antaranya ialah pertama isue soal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang minta ditinjau ulang karena dianggap kurang tepat dan yang lebih tepat adalah pemerintah menjalankan program sekolah gratis ketimbang program makan gratis.
“Tugas pemerintah bukan memberikan makan pada siswa. Tugas pemerintah adalah membuat cerdas siswa. Yang perlu dikasih makan itu para orang tuanya dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin,” ujar Ustaz Abdul Somad (UAS), penceramah, salah seorang tokoh yang mendukung gerakan mempertanyakan program MBG.
Kedua, soal efisiensi anggaran belanja pemerintah yang sedang dilakukan oleh pemerintah dan hal itu dianggap belum perlu karena akan menimbulkan risiko jangka pendek yang merugikan rakyat seperti kehilangan banyak lapangan pekerjaan dan berkurangnya jumlah perputaran uang di tengah masyarakat.
Selain itu, kebijakan tersebut juga belum diiringi dengan gaya hidup sederhana sebagian besar pejabat publik. Yang terjadi justru sebaliknya, para elit di pemerintahan cenderung senang mempertahankan dan mempertontonkan sifat dan gaya hidup hedon.
Ketiga, soal kabinet gemuk yang dibentuk oleh pemerintahan Prabowo, dinilai tidak sejalan dengan semangat efisiensi yang sedang digaungkan oleh pemerintah sendiri.
Keempat, masalah pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang di beberapa tempat telah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan dan memicu timbulnya konflik sporadis.
Kelima, soal sulitnya lapangan pekerjaan di tengah ledakan jumlah penduduk kaum muda lulusan perguruan tinggi dan putus sekolah yang haus lapangan pekerjaan sebagaimana tergambar dalam gerakan tagar #kaburajadulu# yang viral di medsos. Tagar tersebut menggambarkan adanya kesulitan lapangan pekerjaan dan ajakan pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan dan pendidikan yang layak di negara lain.
Dan tentu saja ada sejumlah isue lain yang sering menjadi fokus kritis sebagian kelompok kelas menengah perkotaan yang intinya hampir sama menuntut pemerintah agar segera mengevaluasi kebijakan- kebijakan yang dianggap belum menunjukkan sikap yang prorakyat.
Oke, kita sangat memaklumi diangkatnya semua isue tersebut baik sebagai bahan obrolan di banyak podcast dan medsos maupun dalam aksi turun ke jalan. Namun, apakah penggunaan tagline “Indonesia Gelap” untuk mengangkat isu di atas cukup tepat dan pantas?!
Soalnya, di luar kelompok kecil mahasiswa dan sebagian kecil kelas menengah kritis masih ada kelompok mayoritas masyarakat yang merasakan dan mengalami bahwa Indonesia saat ini justru sedang baik-baiknya. Bahkan jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya, jauh dari kata Indonesia Gelap. Rakyat masih bisa beraktifitas usaha seperti biasa, bertani, berdagang, berkreasi bahkan aktif bebas berorasi politik di ruang,- ruang publik dengan aman dan leluasa. Bukan hanya itu, berdasarkan data dari banyak sekali sumber menjelaskan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya sangat bagus.
Data dari AI menjelaskan peringkat ekonomi Indonesia cukup menggembirakan! Indonesia berhasil masuk dalam jajaran 20 besar negara dengan PDB terbesar di dunia ¹. Selain itu, Indonesia juga berhasil memperbaiki peringkat dalam beberapa komponen utama, seperti kinerja ekonomi, pemerintahan yang efisien, bisnis yang efisien, dan ketersediaan infrastruktur. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia makin kuat dan menarik untuk investasi.
“Kita termasuk negara dengan tingkat perkembangan ekonomi yang baik di dunia. Bahkan yang terbaik nomor delapan di dunia,” ujar Presiden Prabowo saat berpidato di acara Kongres VI Partai Demokrat, 25 Pebruari di Jakarta.
“Mungkin yang gelap itu pikiranmu ” ujar Luhur Binsar Panjaitan kepada wartawan saat menanggapi aksi “Indonesia Gelap” di Jakarta.
Ungkapan Luhur Binsar. Pandjaitan itu menarik dikaji. Jangan-jangan kalimat “gelap pikiran” tersebut ada benarnya dan kemungkinan sedang terjadi dan dialami baik oleh sebagian kaum kritis maupun kaum elite pemerintah pemangku kebijakan.
Skap kritis yang dilontarkan mahasiswa dan kelompok kecil kelas menengah misalnya seringkali kurang tepat sasaran. Demikian juga dengan kebijakan pemerintah yang dikritisi seringkali banyak menimbulkan blunder, keliru, sehingga menimbulkan kritik dari kelompok masyarakat.
Maklum sebagian kelompok kritis seperti mahasiswa, sebagian kecil kelas menengah, kelompok agama, juga sebagian pejabat pemerintahan, para menteri dan para politisi yang seharusnya bertugas membenahi kehidupan bernegara dan berbangsa dengan cahaya ilmu dan kebijakan malah cenderung bersikap dan berbuat sebaliknya.
Coba kita lihat secara seksama. Kelompok yang selama ini bersuara seolah kritis, belakangan sedang langsung maupun tidak langsung sudah sering berbaur dan bercampur dengan banyak kelompok kepentingan praktis politik kekuasaan, bisnis, pemburu rente, atau kelompok asing yang tak menghendaki Indonesia bisa menjadi negara yang terang benderang bercahaya. Tak jarang media mempergoki para demonstran berbagi uang receh usai melakukan aksi demo. Dan narasi -narasi yang disampaikan dalam aksi di medsos maupun di lapangan kurang terasa kurang membumi. Yang keluar malah cenderung sebaliknya: semburan ujaran kebencian, hoaks , reaktif, emosional, dan anarkis.
Begitu juga dengan sikap kaum politisi, birokrat, para menteri dan para kepala daerah, termasuk juga presiden. Mereka sebenarnya adalah kelompok orang-orang pilihan yang mendapat mandat tugas mulia menjadi penterjemah dan peng-ejawantah nilai-nilai luhur dan cahaya kebenaran sebagaimana juga tugas kaum mahasiswa dan kelompok kelas menengah. Namun, kelompok ini pun sering terbuai dan terlena oleh baju status jabatan. Arogan, merasa memiliki posisi lebih penting, lebih di atas dan merasa bisa menentukan segalanya. Potensi cahaya yang ada di dalam pikiran dan hati mereka pun tertutup oleh keinginan cepat panen ketimbang menanam terlebih dahulu.Terbuai oleh puja dan puji di atas panggung sebelum memainkan peran indah dan cantik. Kemudian lupa dan tuli dengan masukan dari kelompok kritis.
Kegelapan pikiran yang dialami baik oleh kelompok kritis maupun oleh pemangku kebijakan (pemerintah) bisa kita lihat di antaranya dari contoh kelima kasus di atas. Mari kita lihat bersama.
Soal program makan begizi gratis (MBG) misalnya. Program ini tentu saja sangat baik dan penting untuk pembenahan kualitas gizi anak-anak Indonesia pewaris masa depan. Ini program mulia, nyata, dan visioner yang juga sudah banyak dipraktekkan oleh banyak negara lain. Program MBG berdampak jangka panjang bagi kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak bangsa.
Apa yang salah dari program ini. Kalau pemerintah mampu dan mayoritas masyarakat Indonesia mendukung kenapa tidak?!
Sikap reaktif dan langsung menolak program ini tentu kurang bijaksana. Yang diperlukan adalah memperbaiki dan menyempurnakan.Sebab yang kurang dari program MBG lumayan banyak. Diantaranya soal tehnis pelaksanaan. Misalnya, mengapa yang didahulukan anak siswa di sekolah yang ada di kota. Kenapa tidak didahulukan mereka yang tak mampu dan tinggal di sudut sudut kampung dan pulau jauh?! Bukankah mereka yang paling membutuhkan ? Bukankah tujuan program MBG untuk memperbaiki gizi yang kurang, bukan sekedar memenuhi dan melaksanakan ritual makan bergizi gratis?
Soal proyek strategis nasional (PSN) seperti yang terjadi dalam kasus PSN Rempang di Provinsi Riau, dan PSN PIK2 di Provinsi Banten. Pembangunan PSN Rempang Eco City adalah proyek visioner untuk membangun kawasan pertumbuhan ekonomi baru dan menjadi pusat kegiatan pariwisata, perdagangan, dan industri. Ini kan program bagus yang bisa berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga setempat.
Demikian juga dengan PSN PIK2. Itu proyek yang dirancang cukup lama untuk menghidupkan perekonomian wilayah Pantai Utara Tangerang- Banten agar bisa berubah menjadi pusat ekonomi baru.
Jadi, kedua PSN di atas adalah proyek strategis dan penting yang diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Harusnya tak perlu buru-buru ditolak.Yang diperlukan adalah memperbaiki perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut.
Warga setempat tak akan menolak bila sebelumnya ada langkah-langkah informatif-persuasif kepada warga. Dan pemerintah tidak terburu buru melakukan langkah agresif dengan alasan untuk percepatan pembangunan. Pernahkah misalnya pemerintah dan pihak investor melakukan maping potensi masalah? Pernahkah tokoh agama, ulama, pendeta, tokoh adat, dan sesepuh diajak berbicara tentang nilai-nilai lokal apa saja yang perlu dilestarikan, lahan hijau mana saja harus dipertahankan, seperti apa gambaran wujud pembangunan yang akan dicapai, masyarakat lokal akan berperan seperti apa dalam proses pembangunan baik sebelum dan sesudahnya? Dan seterusnya.
Sejauh ini kita belum banyak mendengar informasi soal obrolan macam itu baik dalam kasus PSN di Rempang maupun di PIK2.
Begitupun dalam kasus penolakan terhadap program efiesensi anggaran.Tentu semua orang senang dan mendukung ada efisiensi. Selama ini publik sudah tahu betapa banyak pemborosan atau pengeluaran yang tak perlu dari penggunaan APBN dan APBD. Jadi kurang eloklah jika program tersebut langsung ditolak begitu saja. Yang diperlukan adalah langkah langkah yang bukan sekedar efiesensi dari sisi anggaran saja melainkan langkah- langkah mengubah cara dan gaya hidup hedonis -borjuis dan birokratis para pejabat. Disitulah sumber utama pemborosan anggaran terjadi. Jadi, ngomong efiesensi bukan soal uang semata melainkan menyangkut mental dan sikap hidup pelaksana kebijakan negara.
Demikian juga soal kabinet gemuk. Kita juga mengerti jika Presiden Prabowo mempunyai banyak program terobosan untuk kemajuan bangsa. Butuh dukungan para menteri dan pejabat selevelnya agar bisa mencapai target pembangunan yang diinginkan. Tapi kan publik juga melihat dan bisa menilai bahwa dukungan terbaik itu datang dari kualitas skill manusia dan cara berfikir serta cara kerja para pembantunya bukan dari banyaknya pembantu? Jika bisa memilih satu menteri yang banyak memahami persoalan dan bisa menyelesaikan sepuluh masalah kenapa harus memilih sepuluh menteri tapi hanya bisa menyelesaikan satu atau dua masalah saja ?!. Belum lagi jika kita mengoreksi gaya hidup pamer dan banyak bicara para menteri tersebut. Padahal publik sudah tahu track record masing-masing pejabat publik, karena saat ini tak ada lagi yang bisa bersembunyi di era keterbukaan ini.
Nah soal tagar #Kabursajadulu# memang sepintas terasa kurang wise di tengah bangsa ini sedang giat membangun, butuh tenaga tenaga muda energik yang bisa mewujudkan mencintai tanah air dengan aneka karya. Lalu kenapa harus kabur ke luar negeri ?
Era keterbukaan yang membuat dunia menjadi “kampung global” akan sulit mencegah proses migrasi anak anak muda dari satu negara ke negara lain untuk mencari penghidupan yang layak. Itu kita sangat mengerti. Tapi kan gak mesti menggunakan tagar yang terkesan nyinyir terhadap keadaan negara sendiri.
Dan pemerintah tak perlu juga bersikap reaktif menyikapi fenomena tersebut. Biarkan saja dan dukung mereka sembari memberikan bekal agar mereka bisa menanjabkan panji-panji Nusantara di seluruh belahan dunia.
Itulah sedikit contoh dari sekian banyak masalah bangsa yang perlu disikapi dengan langkah dan tindakan cahaya pemikiran bukan dengan kegelapan berfikir. (*)
Jumat 28 Pebruari 2025
Get the feeling
*) Budayawan