Rosadi Jamani
- Ketua Satupena Kalbar
BANYAK minta diulas, “Bang, tulis soal antre gas melon!” Awalnya saya tidak begitu peduli. Ternyata ramai meminta diulas. Faktanya, memang ramai antre. Yok kita bahas, wak. Kopi jangan lupa walau pun pahit tanpa gula.
Matahari belum sepenuhnya bangkit. Tapi, manusia-manusia itu sudah berdiri. Berjejer panjang. Mereka bukan sedang menunggu tiket konser idola atau diskon akhir tahun. Bukan. Mereka hanya ingin mendapatkan tabung gas melon 3 kg. Barang sepele, namun kini menjadi rebutan bak harta karun.
Betapa ironis. Di negeri yang katanya kaya raya dengan sumber daya alam, rakyat kecil harus berdesakan demi sebuah tabung gas. Pemandangan ini seperti lukisan kelabu yang memperlihatkan betapa rapuhnya sistem yang mengatur hidup mereka. Apakah ini wajah negara modern? Ataukah kita sedang bercermin pada bayangan kemiskinan yang terus menghantui?
"Kebijakan baru,” kata pemerintah dengan nada angkuh. Mulai 1 Februari 2025, pengecer gas elpiji 3 kg resmi dihapus. Gas subsidi hanya boleh dibeli di pangkalan resmi. Alasannya? Agar tepat sasaran. Agar tidak disalahgunakan. Agar harga stabil. Oh, betapa mulianya niat itu! Namun, apakah benar semua ini demi rakyat? Atau justru membuat hidup mereka semakin sulit?
Ya, mungkin harga akan lebih stabil. Tapi apakah stabilitas harga bisa mengganti waktu yang hilang karena antre berjam-jam? Apakah stabilitas harga bisa membayar ongkos transportasi bagi mereka yang tinggal jauh dari pangkalan? Ah, tentu saja tidak.
Bagi yang tinggal di perkotaan, mungkin ini mudah. Tapi bagaimana dengan mereka di desa-desa terpencil? Bagaimana dengan ibu-ibu yang tak punya kendaraan? Haruskah mereka berjalan kaki puluhan kilometer hanya untuk sekadar mendapatkan gas? Betapa indahnya kebijakan ini bagi mereka yang lemah.
Para pengecer kecil yang selama ini hidup dari menjual gas melon, kini ditinggalkan begitu saja. Mereka disuruh mencari alternatif usaha lain. Alternatif apa? Menjadi pangkalan resmi? Tentu saja, jika mereka punya modal besar dan dokumen lengkap. Tapi siapa yang peduli dengan nasib mereka? Toh, mereka hanyalah semut-semut kecil di mata kebijakan raksasa.
Ini alasan favorit. “Agar subsidi tepat sasaran.” Tapi apakah benar masalah utamanya adalah penyalahgunaan? Atau justru distribusi yang amburadul? Mengapa rakyat kecil harus menanggung beban kesalahan sistemik? Bukankah lebih mudah memperbaiki distribusi dari merombak seluruh mekanisme pembelian?
Kini, prosedur baru mulai diterapkan. Tunjukkan KTP. Daftarkan diri dalam sistem tertentu. Semua demi kontrol yang lebih baik. Betapa canggihnya teknologi ini! Tapi apakah semua orang paham cara mengakses sistem tersebut? Apakah semua orang memiliki akses internet atau bahkan ponsel pintar? Tentu saja tidak. Lagi-lagi, rakyat kecil menjadi korban dari idealisme yang terlalu tinggi.
Apa yang terjadi hari ini adalah cerminan dari sebuah paradoks. Di satu sisi, pemerintah berusaha menunjukkan bahwa mereka peduli. Di sisi lain, kebijakan ini justru menambah penderitaan rakyat kecil. Seperti tangan kanan memberi, sementara tangan kiri merampas.
Negara ini kaya. Sangat kaya. Tapi mengapa rakyatnya masih harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan gas melon? Apakah ini harga yang harus dibayar untuk kemajuan? Ataukah ini bukti bahwa kemajuan hanya milik segelintir orang?
Matahari kini mulai tenggelam. Antrean panjang itu perlahan-lahan bubar. Beberapa orang pulang dengan senyum kecil, berhasil mendapatkan gas. Sementara yang lain pulang dengan tangan kosong, hati kosong, dan harapan yang semakin tipis.
Di ujung jalan, ada anak kecil yang bertanya pada ibunya, “Bu, kenapa kita susah dapat gas?”
Ibu itu hanya tersenyum getir, lalu berkata pelan, “Ini demi kebaikan, Nak.” Betapa manisnya kata-kata itu. Betapa pahit maknanya. (*)
#camanewak
@hatipena