Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
DALAM ajaran ketuhanan, terdapat tiga sifat utama yang sering dikaitkan dengan keberadaan Tuhan: sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur.
Menariknya, dalam kehidupan manusia, dari ketiga sifat tersebut, yang paling mudah dan paling banyak digunakan adalah sifat pelebur.
Lihatlah kehidupan sehari-hari, betapa mudahnya kita melebur sesuatu—menghancurkan, menghabiskan, dan mengonsumsi.
Kita menikmati pecel lele, ayam betutu, ayam panggang dan bebek goreng tanpa banyak berpikir tentang bagaimana semua itu diciptakan dan dipelihara.
Hanya sedikit orang yang benar-benar berperan sebagai pencipta dalam artian mengembangbiakkan hewan ternak atau menanam bahan makanan.
Bahkan pemeliharaan pun sering kali terabaikan, kecuali bagi mereka yang berkecimpung langsung dalam dunia pertanian dan peternakan. Sebagian besar dari kita hanya berperan sebagai pengguna akhir, yang menikmati hasil tanpa banyak memikirkan asal-usulnya.
Fenomena ini juga terjadi dalam dunia sastra dan tulis-menulis.
Dari sekian banyak orang yang menikmati puisi, cerpen, atau novel, hanya sedikit yang benar-benar menciptakan karya-karya tersebut.
Lebih sedikit lagi yang berusaha memelihara, menjaga dan mengapresiasi karya sastra agar tetap hidup dan lestari.
Sebaliknya, lebih banyak yang sekadar membaca, mengomentari, atau bahkan mengkritik tanpa pernah berkontribusi dalam penciptaan, tulis-menulis atau pemeliharaan sastra itu sendiri.
Apakah ini yang disebut dunia paradoks?
Dunia di mana semakin modern kehidupan, semakin terperinci spesialisasi peran manusia dan menjadikannya semakin paradoks?
Ada yang hanya menikmati bebek goreng tanpa peduli bagaimana bebek itu dipelihara dan diciptakan. Ada yang fokus pada penciptaan, senang jika karyanya dimanfaatkan oleh banyak orang. Ada pula yang berdedikasi dalam pemeliharaan, berbahagia jika yang dijaganya bisa dinikmati oleh orang lain.
Semua ini kemudian diharmonisasi oleh uang. Dengan uang, seseorang bisa memilih hanya menjadi pencipta, sebagai pemelihara, atau sekadar pengguna.
Namun, sebagai manusia yang hidup dalam dunia paradoks ini, kita sebaiknya tidak lupa bahwa di balik sesuatu yang kita nikmati, ada peran pencipta dan pemelihara yang bekerja keras.
Menghargai proses penciptaan dan pemeliharaan bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kesadaran dan penghormatan terhadap keseimbangan dunia. (*)
Denpasar, 23 Februari 2025