Cerpen Fanny J Poyk
KUTULIS kisah ini tanpa menyinggung siapa yang telah kusinggung dan siapa yang telah tersinggung. Aku tidak mau menyebutkan nama karena nama sarat dengan berbagai tendensi ketersinggungan yang sewaktu-waktu bisa saja menuntutku ke meja hijau, biru atau putih. Beberapa nama telah menorehkan beragam kenangan dalam hidupku, ada yang pahit, getir, penuh derita, gembira bahkan kepedihan.
Ah nama, ya nama, di antara nama-nama itu ada kisah yang ingin kuungkapkan. Aku tak ingin mengisahkannya hanya dalam bentuk narasi, maupun alinea-alinea panjang tanpa makna. Di dalamnya ingin kusisipkan pesan penting yang harus mereka tahu, bahwa ada sepenggal cinta dulu pernah kuberikan pada mereka.
Cinta! Satu kata itu terasa sangat ampuh memengaruhi seluruh perjalanan hidupku. Saat kata itu berputar-putar dan menggerogoti setiap persendianku, aku menebarkan jala ke segenap pria yang kurasa bisa menerima cinta yang kuberikan tanpa imbalan dan tanpa paksaan. Namun cinta datang menyerang bagai lemparan ribuan paku yang menusuk-nusuk seluruh rongga dadaku.
Cinta datang tanpa bisa kubendung, tanpa bisa kubentengi dengan perisai canggih sekali pun. Ia datang bagai anak panah tajam yang melesat kencang dan menusuk jantung tanpa tedeng aling-aling. Cinta itu akhirnya membuatku termangu, tersihir dalam dekapan malam yang pekat. Di sana aku tak berdaya, aku menyerah kalah dalam pelukan cinta nan dahsyat itu.
Inilah sosok cinta yang datang dan sekuat tenaga berusaha kuingkari kehadirannya. Dia tampan, berahang kuat, bermata tajam dan bertubuh tegap, pesona yang dia berikan membuat anganku terbang ke awan gemawan, aku tersihir oleh pikat pandangan pertama yang diberikan dalam bentuk keindahan raga dan perhatian lembut darinya.
Kujalani semuanya bak kerbau yang dicocok hidungnya. Kupenuhi apa yang dimintanya, termasuk saat ia miminta aku mengirimkannya uang, saat ia meminta aku mengirimkannya pakaian bermerk, saat ia meminta aku menanggung biaya hidupnya, juga saat ia meminta aku membayarkan makanan yang kami makan di sebuah restoran mewah. Aku tersadar setelah semuanya berjalan beberapa waktu, tabunganku kian menipis.
Tatkala benar-benar habis, dan semua pemberian yang kuberikan dengan rela sirna, dia pergi tanpa jejak, tanpa sebuah ciuman perpisahan lembut yang biasa dia berikan. Cintaku yang seumur jagung lenyap dalam pusaran waktu yang terbilang singkat.
Kujelajahi kembali arena cinta dengan mencari sosok menawan yang bisa kucintai dengan sepenuh hati. Ah, lagi-lagi aku kepincut pada raga seorang pria muda sebayaku yang memiliki mata elok dan lesung di kedua pipinya. Cinta kembali memagutku. Aku terkapar di bawah pesona ragawi yang menghanyutkan itu. Kisah awal hampir sama dengan kisah-kisah yang sudah-sudah. Di situ ada kata-kata manis penuh rayuan, ada ucapan sayang bertubi-tubi, ada elusan mesra dengan bahasa klise yang sarat makna dan pujian.
Perlahan namun pasti semua itu membutakan mata rantai kehidupanku. Tabungan yang telah kuisi dengan susah payah bersama keringat dan air mata, habis perlahan-lahan untuk membiayai semua kebutuhan hidupnya.
Maka tatkala tabungan itu tak bersisa, aku tersentak dan kembali dari alam bawah sadarku, bertanya, apakah seonggok cinta yang telah kuberikan padanya memperoleh respon yang setimpal? inikah wujud cinta sejati yang kuharapkan?
Hati dan harapanku, kembali menghilang, ia bagai bayang-bayang yang perlahan-lahan terhapus mendung hitam di cakrawala senja. Ah, lagi-lagi aku kecewa, ia mengkhianatiku dengan menggandeng kekasih baru yang kaya dan jelita. Aku gigit jari bersama sang malam yang diam-diam menertawaiku.
Aku kembali melanglangbuana bersama lingkaran waktu, mengintip dan melirik wajah-wajah tampan yang kusuka. Kubuka lembaran baru dengan menjalin dan merangkai kisah bersama pria matang hampir seusia ayahku. Ia kharismatik, dan cerdas. Pikirannya tajam, memiliki visi dan misi yang jelas. Cintakah aku padanya? Entah.
Kujalani waktu yang bergulir dengan menjadi pendengar setia tiap kalimat demi kalimatnya yang bernas. Aku terpukau, namun aku juga bertanya, inikah pria yang pantas kujatuh cintai? Tampaknya, keputusan untuk merajut kasih dan merenda hari-hari yang akan datang, secara perlahan berubah menjadi suram dan abu-abu. Ia, pria setengah baya yang awalnya kusuka, ternyata pedofilia sejati. Ia lebih suka anak-anak ketimbang diriku. Ah!
Panah asmara kembali mendatangiku. Rasanya aku tak pernah bosan untuk lagi-lagi merambah belantara cinta yang setiap saat dipenuhi sensasi-sensai aneh yang memberiku semangat untuk hidup. Dia seniman teater dengan rambut panjang tergerai, berhidung mancung dengan mata hitamnya yang tajam memikat.
Pada dirinya ada binar-binar kehidupan yang menggelora. Gairah kehidupan serasa mewarnai hari-hariku. Tatkala dia menciumku, ada getaran halus yang membuat rasa sayangku kian menggunung. Inikah yang dinamakan cinta sejati? Aku tak kuasa untuk mendeskripsikannya.
Sikapnya yang lembut, jemarinya yang lentik, cara bertutur katanya yang santun, tak pernah hilang dari ingatanku. Ia bagai mutiara terpendam yang menyembul dan bersinar indah di tengah gelapnya malam. Aku tergila-gila padanya. Hingga pada akhirnya, aku terkapar tak berdaya bersama jeritan hatiku yang menyayat serta pilu. Air mataku menetes membasahi kedua pipi tatkala kulihat ia bermesraan dengan sesama pemain teater, dan orang itu adalah mahluk berjenis laki-laki. Aku terkecoh!
Letih memang. Namun hidup dan kisah cintaku harus tetap berjalan. Meski usia kian merambat ke atas, aku tak akan pernah lelah mencari sosok yang kucinta. Kutemukan dia dalam wujud mahluk berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang dan bermata biru.
Dia makhluk “bule” asal Australia yang kukenal di sebuat pub di Kuta, Bali. Tak ada basa-basi, semuanya serba spontan tanpa embel-embel tata karma pergaulan yang berlaku. Saat ia bilang cinta, aku suka. Saat menciumku, aku terlena. Namun di saat ia hendak mengajakku ke hotel dan tidur bersamanya, sinyal di batinku berdentam-dentam, haruskah itu kulakukan?
Wahai asmara. Ketika kuputuskan untuk menolak permintaannya, si “bule’ mengatakan aku munafik. Aku terkesima dan akhirnya tertawa. Si bule akhirnya lenyap bersama pusaran waktu. Ia menganggap cinta yang kusodorkan hanya berupa seonggok daging yang bisa diobok-oboknya dengan nafsu dan deru nafas memburu.
Dan aku? Masih tetap sendiri menatap pekatnya malam yang ditaburi bintang-bintang. Itulah kisah cintaku, kurasa jika tak kutemukan cinta yang lain, aku akan mundur teratur. Tokh suatu saat Tuhan akan memberiku jodoh. Tapi tampaknya aku masih diberi kesempatan untuk melanjutkan babak lain dari kisah cintaku.
Ia sosok pribadi yang pendiam dan mahal senyum. Ketika kami resmi menjadi sepasang kekasih, aku masih menilainya sebagai sosok yang misterius dan sulit kutembus, seperti apa sesungguhnya dia, masih menjadi tanda-tanya bagiku. Kucari makna yang bisa mengungkap jati dirinya dalam bentuk kata, perilaku, maupun ungkapan-ungkapan lain. Jujur, aku ingin dia yang terakhir, yang bisa kusandarkan hidupku dan bisa menjadi bapak dari anak-anakku.
Namun harapan tinggal harapan. Dalam kediamannya ternyata ia menyimpan sesuatu, sosok cinta yang kutemukan dalam dirinya pupus bersama hitungan bulan. Ia meninggal karena kanker otak beberapa minggu setelah kami bertunangan. Tubuhnya lunglai dalam dekapanku, dan aku menangis pilu di hadapan jasadnya. Duh!
Aku hampir menggugat cinta, mempertanyakan mengapa dia membuatku merana. Air mata rasanya hampir kering, aku menengadah, memandang bintang-bintang di langit, kuberharap kelak keturunanku akan sebanyak bintang di langit. Tapi, apakah bisa? Rasanya aku telah dikutuk untuk tidak boleh memiliki cinta. Aku hampir putus asa dan berniat untuk tidak menikah selama-lamanya. Sumpahku di hadapan Tuhan hampir kuucapkan. Akan tetapi tatkala semuanya hampir terjadi, sebuah rengkuhan kuat menahanku.
“Jangan lakukan itu,” bisiknya. “Aku akan mencintaimu dengan sepenuh hati, aku akan memberikan keturunan sebanyak yang kau minta. Aku cinta padamu…” Ia mencium keningku.
Air mata membasahi pipiku. Tatkala kubuka mata, sorot matanya yang jernih, memandangku tajam. Jantungku berdebar, inilah cinta yang kucari. Ia tidak terlalu tampan, tubuhnya tidak terlalu tinggi, rambutnya tidak terlalu lebat, secara fisik ia kalah dibanding kekasih-kekasihku yang terdahulu.
Tapi aku tidak begitu peduli. Karena yang aku cari bukan lagi orang yang kucinta, akan tetapi orang yang bisa mencintaiku dengan sepenuh hati. Dan dia datang memberikan cinta itu. Kami merajutnya setenang air yang mengalir di sebuah telaga.
Dia akhirnya menjadi suamiku. Tiga puluh tahun kujalani hidup bersamanya. Bersama anak-anak dan cucu, kureguk kebahagiaan yang pernah kuimpikan. Dia memberiku segalanya, menumpahkan kebahagiaan yang tak pernah terputus. Dia adalah cinta sejatiku.
Kini, dalam tubuh rentaku kutatap batu nisan yang ada di hadapanku. Air mata tuaku perlahan mengalir membasahi pipiku yang keriput. Aku mendesah dan berkata lirih, cintaku mengapa kau tinggalkan aku? Bawalah aku pergi bersamamu. (*)
@hatipena