Dalam spanduk tersebut, umat Islam diajak untuk tidak memberikan perlakuan istimewa terhadap malam tahun baru, termasuk melalui aktivitas keagamaan seperti shalawat dan zikir. Hal ini mengacu pada salah satu hadis yang berbunyi, “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari kaum tersebut” (HR Ahmad).
Spanduk tersebut juga menggarisbawahi simbol-simbol perayaan tahun baru yang dinilai berasal dari tradisi agama lain, seperti meniup terompet yang disebut terkait dengan tradisi Yahudi, memukul lonceng yang diasosiasikan dengan Nasrani, serta kembang api yang dianggap bagian dari budaya Majusi.
Buya Gusrizal menegaskan bahwa umat Islam perlu memanfaatkan momen tersebut untuk kegiatan yang lebih bernilai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Pesan ini menuai beragam tanggapan di tengah masyarakat. Sebagian mendukung pandangan tersebut sebagai upaya mempertahankan identitas keislaman, sementara sebagian lain mempertanyakan relevansi himbauan itu di tengah keberagaman budaya dan tradisi di Indonesia.
Himbauan ini menjadi pengingat bagi umat Islam untuk lebih selektif dalam menyikapi tradisi yang bukan berasal dari nilai-nilai Islam. Pada akhirnya, pilihan kembali kepada setiap individu untuk menentukan bagaimana merayakan momen pergantian tahun dengan tetap menjaga keimanan dan persatuan.
#rel/ede