Oleh: Refindie Micatie Esanie Foekh, SH #


PENYEDIA jasa pengobatan tradisional akhir-akhir ini semakin menjamur. Seiring hal tersebut, banyak pula beredar obat tradisional yang menawarkan aneka khasiat/ kelebihan secara berlebihan, menyesatkan, bahkan kurang bertanggung jawab. Biasanya promosinya lewat media sosial (medsos), tidak melalui media-media berbadan hukum seperti media online, media cetak atau media elektronik. 

Kini terbersit sederet pertanyaan di benak masyarakat kita yang kritis dan jeli menyikapi femomena tersebut. 

Sederet pertanyaan tersebut antara lain:

- Adakah pengaturan mengenai pengobatan tradisional, khususnya para tenaga pengobat tradisional yang menyelenggarakan upaya pengobatan terhadap pasiennya? 

- Apakah terhadap pengobat tradisional dapat diberlakukan UU Perlindungan Konsumen? 

- Sejauh mana tanggung jawab pengobat tradisional yang melakukan upaya pengobatan kepada pasiennya dan tuntutan apa saja yang dapat ditujukan kepada pengobat tradisional apabila pengobat tradisional tersebut melakukan kelalaian/kesalahan yang merugikan pasiennya?

Sebagai pedoman bagi masyarakat banyak, berikut referensi hukum terkait pengobatan tradisional:

Dasar Hukum Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional seringkali dijadikan alternatif oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai solusi dari penyakit yang dialaminya. 

Menurut pendapat Slamet Susilo (dahulu Dirjen Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia) pengobatan tradisional adalah suatu upaya kesehatan dengan cara lain dari ilmu kedokteran dan berdasarkan pengetahuan yang diturunkan secara lisan maupun tulisan berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia.

Dalam UU Kesehatan, pengobatan tradisional merupakan bagian dari pelayanan kesehatan. Namun, karena UU Kesehatan tidak memberikan pengertian mengenai pelayanan kesehatan tradisional, maka kami merujuk pada Permenkes 15/2018 yang memberikan definisi pelayanan kesehatan tradisional, yaitu pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Kemudian, menurut Pasal 160 ayat (1) UU Kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan cara pengobatannya terbagi menjadi dua jenis:

1. pelayanan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan/atau

2. pelayanan tradisional yang menggunakan ramuan.

Pelayanan kesehatan tradisional tersebut dilakukan berdasarkan pada pengetahuan, keahlian, dan/atau nilai yang bersumber dari kearifan lokal.

Kemudian, pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma sosial budaya.

Lebih lanjut, pelayanan kesehatan tradisional yang diberikan kepada masyarakat antara lain meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif, yang dapat dilakukan di tempat praktik mandiri, puskesmas, fasilitas pelayanan kesehatan tradisional, rumah sakit, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

Dalam UU Kesehatan, pemerintah yang berada dalam tingkatan pusat maupun daerah turut bertanggung jawab atas ketersediaan pelayanan kesehatan tradisional. Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan tradisional diatur dalam peraturan pelaksana dari UU Kesehatan yang diatur dalam PP 103/2014, yang membagi 3 jenis pelayanan kesehatan tradisional meliputi:

- Pelayanan kesehatan tradisional empiris, yaitu penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. Aturan mengenai pelayanan Kesehatan tradisional empiris terdapat dalam Permenkes 61/2016.

- Pelayanan kesehatan tradisional komplementer, yaitu penerapan kesehatan tradisional yang memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural dalam penjelasannya serta manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah. Pelayanan Kesehatan tradisional komplementer dapat kita temukan pengaturan selengkapnya di Permenkes 15/2018.

- Pelayanan kesehatan tradisional integrasi, yaitu bentuk pelayanan kesehatan yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan tradisional komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap atau pengganti. Lalu, ketentuan mengenai pelayanan kesehatan tradisional integrasi diatur dalam Permenkes 37/2017.

Kemudian, penting untuk diketahui bahwa setiap penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional menurut PP 103/2014 harus mempunyai Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (“STPT”), Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Tradisional (“STRTKT”) dan Surat Izin Praktik Tenaga Kesehatan Tradisional (“SIPTKT”) yang disesuaikan dengan jenis pelayanan yang diberikan.

Dengan demikian, berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka menjawab pertanyaan mengenai pengaturan pengobatan tradisional di Indonesia, telah ada peraturan yang mengatur, diantaranya:

UU Kesehatan;

PP 103/2014;

Permenkes 61/2016;

Permenkes 37/2017;

Permenkes 15/2018.

Lantas, bagaimana jika pengobat tradisional melakukan kelalaian/kesalahan yang merugikan pasiennya? Apakah terhadap pengobat tradisional dapat diberlakukan sanksi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen? Berikut ulasannya.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Pengobatan Tradisional Kepada Konsumen

Untuk menjawab pertanyaan masyarakat kita yang kritis dan jeli dalam menyikapi fenomena menjamurnya pengobatan tradisional tersebut, berikut penjelasan tentang beberapa definisi terminologi dalam UU Perlindungan Konsumen.

Pada dasarnya, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Kemudian, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 

Maka dari itu, baik orang maupun badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha pengobatan tradisional termasuk sebagai pelaku usaha.

Sedangkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Lebih lanjut, penting untuk mengetahui definisi dari barang dan jasa. 

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan Konsumen, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 

Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU Perlindungan Konsumen.

Dengan demikian, setiap barang (seperti jamu dan jenis obat herbal) maupun obat fitofarmaka (obat bahan alam) dan/atau jasa pengobatan tradisional (seperti pijat, terapi bekam, terapi sengat lebah, akupuntur) yang selenggarakan oleh pelaku usaha pengobatan tradisional dan dimanfaatkan oleh konsumennya akan mengacu pada UU Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan penelusuran kami, meskipun UU Perlindungan Konsumen belum mengatur secara gamblang mengenai perlindungan kepada hak-hak pasien yang melakukan pengobatan tradisional, hal ini tidak berarti UU Perlindungan Konsumen tidak dapat diterapkan dalam kasus penggunaan jasa pengobatan tradisional, karena, hubungan hukum antara pelaku usaha pengobatan tradisional dengan pasien/klien (konsumen) tetap ada.

Dalam hal pelaku usaha pengobatan tradisional melakukan kelalaian/kesalahan yang merugikan pasien/klien (konsumen), terdapat tanggung jawab pelaku usaha antara lain:

Ditinjau dari PP 103/2014

Penyehat tradisional tidak menggunakan alat dan teknologi yang aman bagi kesehatan dan sesuai dengan metode/keilmuannya, atau penyehat tradisional memberikan klien obat tradisional yang belum berizin sehingga menyebabkan kerugian konsumen, itu dapat diasumsikan sebagai kelalaian/kesalahan yang dilakukan pengobat/penyehat tradisional kepada konsumennya. 

Dengan demikian, penyehat tradisional dapat dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa teguran lisan, teguran tertulis, dan/atau pembatalan STPT, sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) jo. Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) PP 103/2014.

Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, dengan adanya tuntutan ganti rugi terhadap pelaku usaha yang lalai dalam menjalankan pengobatan tradisional, tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Bagi pelaku usaha pengobatan tradisional yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga untuk melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, hal ini dikembalikan berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang bersengketa.


#Refindie Micatie Esanie Foekh, SH adalah seorang Advokat di Jakarta, Bachelor of Law - Atma Jaya Catholic University of Indonesia, Law Office of Pasa, Maha & Partners  Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya




 
Top