Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA #

 BENCANA atau musibah sangat berkaitan dengan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah ta’ala berfirman: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

“Dan tidaklah Kami membinasakan suatu negeri kecuali penduduknya melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59).

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 96).

“Lalu mereka ditimpa (bencana) dari akibat buruk apa yang mereka perbuat. Dan orang-orang yang zalim di antara mereka juga akan ditimpa (bencana) dari akibat buruk apa yang mereka kerjakan dan mereka tidak dapat melepaskan diri.” (Az-Zumar: 51).

“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (Al-Kahfi: 59).

Maksiat adalah keyakinan, perbuatan dan perkataan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Maksiat juga bisa bermakna keyakinan, perbuatan dan perkataan yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, maksiat adalah keyakinan, perkataan dan perbuatan yang menyebabkan dosa.

Hukum melakukan maksiat atau kemungkaran adalah haram (dosa besar). Begitu pula mentolerir kemaksiatan bagi yang mampu mencegahnya. Metolerir kemaksiatan berarti meridhai dan melegalkannya. Hukumnya sama dengan pelaku maksiat.”

Di antara bentuk kemaksiatan adalah kelalaian manusia terhadap kewajiban kepada Allah ta’ala seperti shalat lima waktu, puasa, membaca Al-Qur’an, berzikir, membayar zakat, syukur nikmat, melaksanakan amal ma’ruf dan nahi munkar dan sebagainya.

Manusia disibukkan dengan berbagai kesenangan dan kenikmatan dunia. Mereka berlomba-lomba mengejar harta, pangkat, jabatan sehingga melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban agama tersebut.

Di samping itu, kemaksiatan dalam akidah (keyakinan) berupa syirik, khurafat, tahayul, sihir, dan perdukunan. Termasuk pula dalam maksiat jenis ini adalah paham-paham sesat seperti Syiah, liberalisme, sekulerisme, tasawuf bathiniah, tasawuf wihdatul wujud, Ahmadiyah, dan sebagainya. Maksiat dalam akidah ini tumbuh subur dan berkembang pesat.

Kemaksiatan juga berupa perbuatan bid’ah dalam ibadah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari dan dilegalkan. Perbuatan bid’ah sudah dianggap biasa dan tidak berdosa. Bid’ah sudah dianggap agama atau syariat yang dilazimkan dalam ibadah sehari-hari.

Selain itu, termasuk kemaksiatan adalah segala perbuatan yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti kezhaliman, korupsi, suap, pembunuhan, penganiaan, pemerkosaan, pencurian, minum minuman keras, judi, menampakkan aurat, pacaran, perzinaan, mengkonsumsi dan menjual barang haram seperti narkoba, sabu-sabu, ganja, rokok dan sebagainya.

Kemaksiatan bisa juga berupa segala perkataan yang diharamkan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti menipu/manipulasi, mengadu domba, memecah belah persatuan umat, menghina, mencaci, menfitnah, menyakiti, ghibah, dan sebagainya

Semua keyakinan, perkataan dan perbuatan tersebut di atas merupakan maksiat yang mengundang bencana atau azab Allah ta’ala. Maksiat tersebut sudah merajalela dalam masyarakat. Bahkan sebahagian maksiat dilegalkan dan menjadi tradisi. Sebahagian lagi dilarang secara resmi oleh negara yaitu maksiat kriminal, namun tetap saja banyak terjadi.

Kewajiban Mencegah Maksiat

Setiap muslim wajib melaksanakan amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran) sesuai kemampuannya.

Allah ta’ala berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyeru (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah daripada yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).

Imam Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Maksud ayat ini adalah, harus ada sekelompok dari umat ini yang melakukan tugas dakwah, meskipun sebenarnya dakwah itu merupakan kewajiban bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/361).

Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka ubah dengan lisan. Jika tidak sanggup, maka dengan hati. Yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkam bahwa mencegah kemunkaran meruaakan kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan ataupun hatinya.

Rasulullah Saw juga bersabda, “Demi jiwaku dalam genggaman Allah, kalian benar-benar mau melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar atau (kalau tidak) Allah akan menimpakan kepada kalian siksa dari-Nya, lalu kalian memohon doa kepada Allah maka Dia tidak akan menerimanya.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah).”

Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar hukumnya wajib kifayah sesuai kemampuannya.

Meskipun demikian, kewajiban ini bisa menjadi wajib a’in bila tidak ada orang yang melaksanakannya di suatu kampung atau daerah. Maknanya, setiap individu berdosa jika dia melihat kemunkaran, namun tidak mencegah atau melarangnya.

Setiap muslim wajib mencegah maksiat sesuai dengan kemampuannya. Seorang pemimpin wajib mencegahnya dengan tangannya yakni kekuasaannya. Seorang ulama, cendekiawan, ustaz dan da’i wajib mencegahnya dengan lisannya lewat khutbah, ceramah, pengajian dan pengajaran. Begitu pula lewat tulisan.

Adapun orang yang tidak mampu mencegahnya dengan tangan maupun lisan seperti orang awam, maka wajib mencegah kemungkaran dengan hatinya yakni membencinya. Inilah tingkatan paling rendah iman seorang muslim.

Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Mengabaikan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar juga dapat mengundang bencana atau azab Allah ta’ala. Karena meninggalkan kewajiban amal ma’ruf dan nahi munkar termasuk perbuatan maksiat.

Jika kita hanya berdiam diri menyaksikan kemunkaran di sekitar kita, tanpa ada upaya pencegahan sesuai dengan kemampuan kita, maka maksiat menjadi merajalela.

Jika maksiat telah merajalela dan tidak ada orang yang melakukan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar di suatu kampung atau daerah, maka Allah ta’ala akan menimpakan bencana dan azab-Nya kepada semua penduduknya

Rasulullah Saw bersabda, “Jika manusia mengetahui kezaliman dan tidak memberantasnya, maka Allah akan menimpakan azab kepada mereka.” (HR. Abu Daud).

“Jika suatu kaum mengetahui kemaksiatan, tapi mereka tidak memberantasnya, padahal mereka mampu melakukannya, maka Allah akan menimpakan azab kepada mereka sebelum mereka meninggal.” (HR. Abu Daud).

Ali bin Abi Thalib ra, “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al-Jawabul Kaafi, hal. 87)

Bencana atau azab itu datang tidak hanya menimpa para pelaku maksiat saja, namun juga menimpa orang-orang yang tidak melakukan maksiat yaitu orang-orang saleh, anak-anak, wanita dan orang tua.

Allah ta’ala berfirman, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 25).

# Penulis adalah Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Indonesia (MIUMI) Aceh dan pernah menjadi Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry



 


 
Top