JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) mengingatkan bahwa kampus tidak boleh menjadi benteng bagi koruptor.

KPK memastikan bahwa kedeputian penindakan telah menjalankan prosedur hukum yang berlaku, yang tercermin dari keyakinan hakim dalam putusan peninjauan kembali (PK) untuk terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H Maming di Mahkamah Agung (MA).

Pernyataan ini disampaikan oleh juru bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, menanggapi langkah Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) yang menggelar diskusi terkait anotasi putusan hakim dalam perkara Mardani H Maming.

Dalam anotasi tersebut, FH Unpad meminta agar terpidana Mardani H Maming dibebaskan.

“KPK meyakini bahwa kerja kedeputian penindakan sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, dan hal ini tercermin dalam keyakinan hakim dalam putusannya,” kata Tessa pada Sabtu (19/10/2024).

Meski demikian, Tessa enggan berkomentar lebih lanjut mengenai diskusi yang digelar oleh Fakultas Hukum Unpad.

KPK juga menolak berkomentar tentang kajian yang dibuat oleh para akademisi terkait kasus Mardani H Maming.

“KPK tidak mengomentari kajian yang dibuat oleh para akademisi tersebut,” ungkap Tessa.

Sebelumnya, masyarakat dihebohkan oleh peninjauan kembali (PK) yang diajukan Mardani H Maming, yang telah kalah dalam tiga tingkat pengadilan, mulai dari tingkat pertama hingga kasasi.

Pengadilan tingkat pertama memvonis Mardani H Maming bersalah dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp500 juta.

Mardani, yang pernah menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, terbukti menerima suap dalam penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN).

Majelis hakim yang dipimpin oleh Hero Kuntjoro juga memerintahkan Mardani untuk membayar ganti kerugian negara sebesar Rp110,6 miliar.

Jika tidak membayar, harta bendanya akan disita dan dilelang, atau diganti dengan tambahan hukuman 2 tahun penjara.

Tidak puas dengan putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardani mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin, di mana hukuman penjaranya ditambah menjadi 12 tahun.

Mardani kemudian mengajukan kasasi ke MA, yang dipimpin oleh Hakim Agung Suhadi.

Kasasi tersebut ditolak dan Mardani diperintahkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp110.604.371.752 (sekitar Rp110,6 miliar), dengan subsider 4 tahun penjara.

Nama Mardani kembali mencuat setelah ia mendaftarkan PK secara diam-diam pada 6 Juni 2024, dengan nomor perkara 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024.

Dalam proses PK tersebut, Majelis Hakim yang memimpin terdiri dari Ketua Majelis DR. H. Sunarto, SH, MH, serta anggota majelis H. Ansori, SH, MH dan Dr. PRIM Haryadi, S, M.H. Panitera Pengganti dalam proses ini adalah Dodik Setyo Wijayanto, S.H.

Dilansir dari laman Kepaniteraan MA, permohonan PK Mardani teregister dengan nomor perkara 1003 PK/Pid.Sus/2024, dan saat ini dalam proses pemeriksaan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung.

Dalam perjalanan kasus ini, terdapat dugaan bahwa Hakim Ad Hoc Tipikor Ansori dan Hakim Agung Sunarto terpengaruh untuk mengurangi masa hukuman melalui proses peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Mardani H Maming.

#wkt/bin




 
Top