PASBAR, SUMBAR -- Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kajati Sumbar) Yuni Daru Winarsih menegaskan, Komite Sekolah hanya boleh menggalang sumbangan dan bantuan. Komite sekolah dilarang melakukan pungutan kepada Wali Murid. Hal itu ia tegaskan melalui awak media di Pasaman Barat (Pasbar), baru-baru ini.

“Komite sekolah hanya boleh menggalang sumbangan dan bantuan. Kalau pungutan tidak diperbolehkan. Apa bedanya pungutan dan sumbangan? Pungutan itu, jumlah dan jangka waktunya ditentukan dan bersifat mengikat, sementara sumbangan sebaliknya,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pungutan di sekolah melalui Peraturan Mendikbud No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.

Dalam peraturan tersebut dibedakan antara pungutan, sumbangan, pendanaan pendidikan dan biaya pendidikan.

Pengertian Pungutan dalam peraturan tersebut adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.

Sedang pengertian Sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorang atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.

Dari dua pengertian di atas, secara jelas dibedakan bahwa Pungutan bersifat wajib dan mengikat, sementara Sumbangan bersifat sukarela dan tidak mengikat.

Meski demikian ada pula Pungutan yang diperbolehkan (pungutan resmi). Hal tersebut dinyatakan dalam Surat Edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan No.82954/A.A4/HK /2017, tanggal 22 Desember 2017.

Berdasarkan surat edaran tersebut dijelaskan, sekolah setingkat SMA/SMK/SLB dapat melakukan pungutan pendidikan baik menggunakan istilah pungutan pendidikan maupun istilah lain seperti Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).

Namun Komite Sekolah hanya boleh melakukan penggalangan dana pendidikan dalam bentuk bantuan dana atau sumbangan, dan tidak dapat melakukan pungutan pendidikan (vide Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah).

Terkait dengan larangan pungutan yang dilakukan oleh Komite Sekolah juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Hal tersebut merupakan penegasan dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggarsan Pendidikan sekaligus penegasan mengenai pungutan yang dapat dilakukán oleh sekolah sebagaimana diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentáng Pendanaan Pendidikan.

Pembatasan pungutan pada lingkungan sekolah disebabkan karena satuan pendidikan tingkat dasar sudah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Besar dana BOS peserta didik tingkat SD sebesar Rp 900.000/siswa/tahun, pada tingkat SMP sebesar Rp 1.100.000/siswa/tahun, sedangkan pada tingkat SMA sebesar Rp 1.500.000/siswa/tahun yang disalurkan setiap tiga bulan yakni periode Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember.

Disebutkan, terdapat 13 komponen yang dibiayai oleh dana BOS yakni: pengembangan perpustakaan; kegiatan penerimaan peserta didik baru; pembelajaran dan ekstrakurikuler; ulangan dan ujian; pembelian bahan habis pakai; langganan daya dan jasa; perawatan/rehab dan sanitasi; pembayaran honor bulanan; pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan; membantu siswa miskin; pengelolaan sekolah; pembelian dan perawatan komputer; dan biaya lainnya. Biaya lainnya yang dimaksud misalnya pembelian peralatan UKS dan darurat bencana.

Meski dilarang dalam pasal berlapis, pungutan liar di sekolah tetap saja terjadi. Biasanya alasan yang dikemukakan adalah pungutan telah dimusyawarahkan dengan Wali Murid. Padahal jika dikaji secara hukum, musyawarah yang menghasilkan kesepakatan melanggar hukum dikategorikan permufakatan jahat.

Selain itu, dikutip dari website Ombudsman RI, pelaku pungli dalam dunia pendidikan bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.

Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 bulan kurungan. Pelaku pungli berstatus PNS dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.

Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran mal administrasi termasuk bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penurunan pangkat, penurunan gaji berkala, hingga pelepasan dari jabatan.

#kbd/bin




 
Top