JAKARTA — Kasus kriminal mulai merambah hingga ke sejumlah pelajar di sekolah, baik mereka yang berada di tingkat SD, SMP, maupun SMA.

Bahkan, para pelaku kejahatan tersebut sudah berani mendatangi sekolah-sekolah target dengan berbagai motif, demi mengelabui korbannya.

Pada Kamis (25/7/2024) lalu, seorang siswi SMP berinisial S dijarah harta bendanya, usai pelaku menyampaikan alibi bahwa ibu korban mengalami kecelakaan.

Terbaru, dua orang siswa SMK berinisial I dan L mengalami pencurian handphone usai seorang pria diduga ojek online, mengajaknya berkeliling area sekolah dengan iming-iming uang sebesar Rp 25.000.

Menanggapi hal tersebut, pengamat pendidikan sekaligus Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyebut kriminalitas yang melibatkan pelajar, dapat dilihat dalam dua sisi.

Pertama, pelajar tersebut berperan sebagai korban, sebagaimana siswi SMP 101 itu.

Kedua, pelajar tersebut dapat berperan sebagai pelaku lewat pergaulan-pergaulan yang dilakoninya atau serapan informasi yang didapatkannya.

"Jadi sebenarnya pelajar ini, biar jangan sampai dia terombang ambing, artinya dalam pengertian tadi yang diceritakan (soal kasus penculikan SMP 101), jadi dia sebagai korban," kata Ubaid saat dihubungi, Rabu (7/8/2024).

"Tapi di tempat lain, dia bisa jadi pelaku kriminal, bahkan pelaku terorisme, seperti di Malang. Jadi, pelajar ini adalah usia-usia yang sangat labil. Dia tidak cukup pengetahuan tentang apapun yang ada dalam sekitar dia dan juga dirinya," imbuhnya.

Menurutnya, siswa kadangkala tidak mengetahui siapa dirinya, bagaimana ia harus bertindak, bahkan mereka tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk.

Pasalnya, lanjut dia, usia pelajar adalah usia di mana mereka berjalan untuk menemukan jati dirinya, menemukan hal-hal yang disukainya.

"Nah dalam konteks itu, itulah pentingnya pendidikan atau pendidikan di sekolah sehingga dia tahu sebagai anak usia sekolah, dia itu siapa, dia itu siapa, dia itu harus bagaimana," kata Ubaid.

"Literasi tentang itu yang sebenarnya tidak banyak diajarkan di sekolah, sehingga dia tidak tahu tentang siapa dirinya dan bagaimana dia harus melakukan apa," lanjutnya.

Sehingga menurut Ubaid, kemampuan soft skill yang matang perlu diajarkan oleh pihak sekolah.

Sayangnya, lanjut dia, banyak sekolah di Indonesia yang tidak konsen mengajarkan hal tersebut. 

Walhasil, para siswa di usia pelajar sangatlah lemah secara mental dan labil dalam bertindak.

"Bagaimana dia memahami dirinya, memahami lingkungannya, punya keinginan yang kuat menjadi anak yang berintegritas yang bisa peka terhadap situasi sosial yang ada. Soft skill semacam itu yang saya pikir perlu diperkuat dalam pembelajaran di sekolah," jelas Ubaid.

Adapun terkait alasan para pelaku kejahatan banyak menyasar lingkugan sekolah, Ubaid menyampaikan tiga hal yang menjadi sebabnya.

Pertama, Ubaid menilai jika sistem keamanan sekolah-sekolah di Indonesia rata-rata masih buruk.

"Kedua, dari sisi mentalitas yang masih belum kuat, masih lemah, masih mudah percaya dengan sesuatu yang baru, belum bisa mengenali komunitas bagaimana apakah orang ini baik atau buruk, apakah komunitas ini baik atau buruk, mereka tidak punya kempampuan untuk menganalisis itu," ungkap Ubaid.

Sehingga sesuatu yang ditemuinya pada saat sekolah atau di masyarakat, mereka cenderung tidak memiliki kecurigaan akan hal tersebut, meskipun ia merupakan orang atau komunitas baru.

Terakhir, ia menilai bahwa para pemangku kepentingan di dunia pendidikan dewasa ini tidak kunjung memberikan solusi meski kasus serupa sudah marak terjadi.

Pasalnya menurut Ubaid, kasus kejahatan di sekolah bukan hanya disebabkan oleh pihak luar, tetapi juga bisa dilakukan oleh orang terdekat. Misalnya oleh sesama pelajar, seperti kasus bullying.

Oleh karena itu, Ubaid meminta agar sekolah mampu menciptakan sistem keamanan yang lebih baik, lebih kuat dan terintegrasi.

"Makanya kalau siswa itu dalam keadaan tidak aman, itu dia bisa melalui sistem itu lalu diketahui oleh sekolah, lalu kami melalui media sosial atau telepon hotline atau apapun yang diberikan oleh seorang pendidiknya, anak begitu keluar dari rumah itu aman sampai di sekolah, kemudian pulang sekolah, selesai sampai rumah, siswa aman," jelas Ubaid.

"Karena kalau ada sesuatu di jalan segera dia bisa melaporkan lalu segera dapat pencegahan dan juga penanganan secara dini, secara tepat," imbuhnya.

Selain itu, Ubaid menilai jika pihak sekolah perlu melakukan penguatan sosial pada anak agar siswa memiliki motivasi yang kuat, semangat, serta memiliki kemampuan untuk mengidenifikasi sesuatu.

"Maka meskipun dia usia anak-anak, tapi kemampuan berpikirnya dia sudah dewasa, dia bisa menganalisis, sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya dan kalau dia ada sesuatu yang buruk dalam dirinya, dia tahu harus melakukan apa itu," pungkasnya.

#wkt/bin




 
Top