Berbagai komentar muncul, termasuk dari anggota dewan. Mereka sebagian besar mengatakan tindakan pemberhentian tersebut tidak manusiawi karena menyangkut keberlangsungan hidup guru bersangkutan.
Pemberhentian 107 guru honorer di Jakarta sebenarnya bukan satu-satunya kasus. Di daerah lain kasus serupa pun terjadi, hanya saja tidak terangkat ke permukaan.
Jika dirunut lebih dalam, keberadaan para guru honorer tersebut di sekolah tentu tidak datang begitu saja. Pihak sekolah pasti sudah memperhitungkan dengan matang ketika merekrut guru honorer.
Standar kebutuhanlah yang membuat sekolah-sekolah tersebut mengangkat guru honorer. Sebab pada era saat ini, pengangkatan guru honorer tanpa perhitungan akan berdampak negatif pada guru-guru yang telah ada di sekolah tersebut.
Seperti diketahui, sejak pemberian Tunjangan Profesi Guru (TPG), bagi guru-guru yang berhak menerima tunjangan tersebut diwajibkan mengajar minimal 24 jam pelajaran dalam satu minggu.
Langkah sekolah merekrut guru honorer pasti sudah memperhitungkan itu semua. Selain itu, perekrutan guru honorer pasti juga berkaitan dengan alokasi dana yang harus disediakan. Satu-satunya alokasi yang dapat digunakan hanya dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Di sisi lain, Plt Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta, Budi Awaluddin, mengatakan bahwa sudah sejak 2017 telah mengeluarkan instruksi tentang pengangkatan guru honorer. Di mana pengangkatan guru honorer harus mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan.
Apa yang disampaikan Disdik ada benarnya. Berkaitan dengan penataan tenaga honorer terutama dikaitkan dengan rekrutmen ASN dan PPPK, pemerintah melarang instansi mana pun untuk mengangkat tenaga honorer, termasuk guru.
Hal ini perlu dilakukan berkaitan dengan rencana pengangkatan para tenaga honorer menjadi PPPK. Jika rekrutmen tenaga honorer oleh beberapa instansi dilakukan, permasalahan tenaga honorer tidak akan selesai.
Dalam rencana pemerintah antara BKN dan KemenPAN-RB ditargetkan pada Desember 2024 semua tenaga honorer telah terangkat. Mereka akan menggantikan ribuan ASN yang memasuki masa pensiun.
Permasalahan rumit terjadi ketika para tenaga PPPK yang telah lolos tes mulai ditempatkan. Kedatangan mereka mau tidak mau mengusik keberadaan para guru honorer yang selama ini mengabdi.
Dilema pun menimpa sekolah-sekolah yang berada dalam situasi tersebut. Satu sisi mereka merasa kasihan dengan para tenaga honorer yang mereka rekrut. Di sisi lain, mereka harus menerima tenaga PPPK yang baru datang.
Bagi para guru honorer, situasi lebih rumit lagi. Mereka merasa dibuang. Dahulu mereka direkrut karena sekolah membutuhkan jasanya, giliran datang guru baru, mereka harus tersingkir.
Selain itu, pemberhentian para guru honorer tersebut dari sekolah berdampak langsung pada kelangsungan hidup mereka.
Pertama, mereka akan kehilangan mata pencaharian yang selama ini didapat.
Kedua, peluang mereka untuk mendaftar PPPK maupun ASN tertutup. Sebab persyaratan sebagai tenaga honorer dibutuhkan sebagai syarat pendaftaran.
Situasi inilah yang terjadi, tidak hanya di Jakarta saja. Di berbagai daerah pun sama situasinya. Banyak guru-guru honorer yang harus minggir karena kedatangan para guru PPPK. Sementara itu untuk memberikan kesempatan para tenaga honorer tersebut mengikuti tes PPPK jelas sangat berat. Sebab hingga saat ini saja pemerintah belum mampu mengatasi para guru honorer yang ada dalam database BKN.
Satu-satunya peluang bagi para guru honorer tersebut adalah mengikuti tes ASN lewat jalur fresh graduate. Sebab jalur ini tidak mensyaratkan pengalaman mengajar sebagai guru honorer.
#dtc/mmu