JAKARTA -- Pemerintah diminta menaati mandat konstitusi dengan membiayai pendidikan dasar tanpa terkecuali, baik sekolah negeri maupun swasta.
Permohonan ini dilayangkan langsung ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) serta sejumlah perwakilan wali murid yang menuntut pendidikan dasar gratis bagi seluruh siswa.
Mereka meminta pemerintah menjalankan amanat Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1 dan 2.
Pendidikan dasar yang dimaksud dalam perkara ini adalah jenjang SD dan SMP atau tingkat lainnya yang setara. Perkara yang teregister dengan nomor 3/PUU-XXU/2024 ini memuat permohonan JPPI untuk uji materiil UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 34 Ayat 2.
Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
JPPI menilai, pasal ini mengartikan bahwa seluruh warga berhak mendapat pendidikan dasar tanpa membayar biaya pendidikan. Termasuk biaya gedung, SPP, buku, seragam, serta biaya terkait lainnya.
Pada Kamis, (1/8/2024), MK menyidangkan perkara ini dengan agenda mendengar keterangan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dan Bappenas. Namun Kemenkeu meminta jadwal ulang karena Dirjen Anggaran berhalangan hadir. Adapun Bappenas diwakili Deputi Bidang Pembangunan, Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Amich Alhumami.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menilai mandat sekolah bebas biaya dalam UU Sisdiknas dimaknai pemerintah sebatas diterapkan di sekolah negeri. Sementara di sekolah swasta, orang tua banyak dibebani dengan sejumlah pungutan yang memberatkan.
Tafsir pemerintah atas Pasal 34 Ayat (2) UU sisdiknas dinilai bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1 dan 2 yang menyatakan: setiap warga negara wajib mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya. Artinya pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar baik di sekolah negeri maupun swasta.
Dalam persidangan di MK, Amich Alhumami menyatakan bahwa prinsip alokasi anggaran pendidikan yang disusun pemerintah yakni sepanjang sudah memenuhi standar pelayanan minimal. Pemerintah sendiri berkomitmen menaati UUD 1945 dengan menyediakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN, pada 2024 sebanyak Rp665 triliun.
Amich menyebut, bakal timbul persoalan anggaran jika pemerintah memutuskan membiayai seluruh sekolah swasta untuk jenjang SD dan SMP atau tingkat setara lainnya. Dia juga mengeklaim bahwa sekolah swasta punya standar berbeda-beda, bahkan ada yang dapat mencapai biaya Rp200 juta per siswa per tahun, untuk beberapa sekolah swasta berstandar internasional.
“Kalau pemerintah atau APBN harus juga menanggung bagian yang seperti ini, ada isu juga soal keterbatasan anggaran,” kata Amich di persidangan, Kamis.
Saat ini, kata Amich, pemerintah mengutamakan siswa dari keluarga tidak mampu agar bisa bersekolah. Implikasinya jika seluruh sekolah swasta dibiayai pemerintah, alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN akan dibebani dengan konflik prioritas.
“Keterbatasan fiskal tidak memungkinkan menggratiskan sekolah swasta karena variasi standar pelayanan sekolah swasta dan pertimbangan skala prioritas dalam pembangunan pendidikan,” ucap Amich.
Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menilai perhitungan Amich terkait biaya per siswa di sekolah swasta tak berdasar dan berbeda dengan perkiraan dari Kemendikbud Ristek.
Di persidangan, kata Ubaid, Amich menyebut pelayanan minimal di sekolah negeri per siswa dialokasikan Rp 24,9 juta. Sementara di sekolah swasta biayanya bisa mencapai Rp200 juta per siswa.
Perhitungan ini berbeda dengan versi Kemendikbud Ristek yang dipaparkan di persidangan sebelumnya. Kepala Biro Perencanaan Kemendikbud Ristek, Vivi Andriani, menyatakan di hadapan majelis hakim bahwa pemerintah butuh dana tambahan sebesar Rp418 triliun untuk dapat menggratiskan biaya pendidikan SD-SMP di sekolah negeri dan swasta.
“Bappenas dan Kemendikbud Ristek terlihat tidak punya standar yang jelas dan panduan yang sama tentang bagaimana cara menghitung biaya pendidikan. Pantas saja kewajiban konstitusional soal sekolah tanpa dipungut biaya hingga kini masih belum bisa terpenuhi,” kata Ubaid Matraji kepada reporter Tirto, Jumat (2/8/2024).
Ubaid mengeklaim, JPPI justru menghitung bahwa pemerintah hanya butuh Rp84 triliun untuk menggratiskan biaya pendidikan dasar sekolah swasta. Basis perhitungan JPPI mencakup biaya uang pangkal, SPP, dan juga biaya kegiatan di sekolah swasta. Besaran komponen ini juga sudah diperhitungkan berdasarkan dua komponen utama dalam pembiayaan sekolah: biaya investasi dan biaya operasional (personalia dan non-personalia).
“Pemerintah ingin lari dari kewajiban konstitusional, mendramatisir kebutuhan terlalu besar, seakan-akan tidak mungkin untuk dilakukan,” kata Ubaid.
Ubaid menilai, sebetulnya pemerintah punya anggaran yang cukup agar bisa menggratiskan pendidikan dasar di sekolah swasta. Ini pun bakal menjawab keraguan hakim konstitusi di MK yang bertanya-tanya ke pihak pemerintah, apa imbasnya jika gugatan ini dikabulkan.
Dia menilai perlu ada rencana yang dilakukan pemerintah dengan pelibatan sekolah swasta dalam skema pembiayaan. Kebijakan pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk sekolah swasta harus dilanjutkan. Dana BOS akan menutupi kebutuhan operasional di sekolah swasta.
Sementara untuk menutup biaya investasi dan personalia, maka diperlukan dana tambahan Rp84 triliun sesuai perhitungan JPPI. Kebutuhan tambahan dana itu dinilai Ubaid sangat memungkinikan dieksekusi dengan realokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.
“Sesuai dengan skala prioritas menunaikan kewajiban konstitusional dalam pasal 31 UUD 1945,” jelas Ubaid.
Sebelumnya di persidangan, Kamis (1/8/2024), hakim konstitusi Saldi Isra menyampaikan kondisi pendidikan dasar saat ini kemungkinan masih jauh dari cita-cita bangsa. Padahal, konstitusi mengamanatkan agar negara mencerdaskan kehidupan bangsa. MK meminta pandangan Bappenas dan Kemenkeu, agar tidak salah mengambil sikap dalam perkara ini.
“Sebab kalau nanti itu tidak tergambar dengan baik, kami khawatir Mahkamah akan salah dalam mengambil sikap,” kata Saldi.
Konstitusi Tak Bisa Ditawar
Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menyatakan tuntutan menggratiskan pendidikan dasar tersebut sulit dipenuhi. Pasalnya, bukan soal anggaran APBN tak memadai, namun karena tata kelola keuangan saat ini kurang bagus.
“Bisa dibayangkan PTN yang biaya kuliahnya naik berkali-kali lipat kemarin disebabkan oleh pendanaan pemerintah berkurang, tapi di sisi lain justru alokasi dana pendidikan di bawah kementerian lain diambil dari alokasi dana Kemendikbudristek,” kata Edi kepada reporter Tirto, Kamis.
Edi mengaku memang sekolah swasta punya standar yang berbeda-beda sehingga tak bisa dipukul rata. Kalau dibiayai semua, kata dia, maka sekolah swasta yang sudah bonafide akan disubsidi lebih besar dibanding sekolah swasta pinggiran.
“Ini jelas tidak adil. Atau sebaliknya, karena ada yang memperoleh subsidi besar karena pakai kurikulum internasional, maka semua sekolah swasta minta subsidi disamakan dan akhirnya pakai kurikulum internasional semua, bisa dibayangkan berapa triliun dibutuhkan,” ungkap Edi.
Menurut Edi, yang diperlukan saat ini jika ingin mendukung sekolah swasta secara serius, pemerintah harus memilah-milah sekolah swasta pinggiran yang melayani kelas menengah ke bawah. Sekolah-sekolah swasta ini yang perlu disubsidi lebih besar agar semakin bagus sarananya serta kualitas pembelajarannya.
“Jadi tidak semua sekolah swasta perlu disubsidi,” ujar Edi.
Sementara itu, pengamat dan praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, menilai ini bukan soal sekolah gratis atau tidak gratis. Pokok persoalan ini adalah pemerintah harus taat pada mandat konstitusi yang mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar bagi warga.
“Jadi yang perlu diluruskan bukan gratisnya. Tapi pemerintah wajib membiayai, dan bukan gratis, karena itu diambil dari pajak kita dan dari penghasilan negara bukan pajak, itu dipakai membiayai pendidikan dasar setiap anak warga negara,” jelas Indra kepada reporter Tirto, Kamis.
Jadi, kata Indra, pemerintah tidak bisa tawar-menawar amanat konstitusi. Pemerintah tidak bisa berkelit kekurangan biaya, sebab jika tidak dipenuhi artinya pemerintah saat ini sudah inkonstitusional terhadap sektor pendidikan. Indra mengeklaim, agar pendidikan dasar bisa dibiayai negara, kemungkinan memakan anggara Rp350-400 triliun.
“Ini sudah semua ya kita bicara operasional sekolah. Belum ditambah lagi APBD, belum ditambah CSR dari BUMN misalnya, jadi aneh kalau pemerintah mengatakan ini tidak cukup,” kata Indra.
Pandangan Indra serupa dengan pendapat hakim konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang, Kamis lalu. Guntur menegaskan, pemerintah seharusnya melihat Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 dan tidak cuma terpaku pada mandat alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBD.
Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 berbunyi: “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
“Bahkan luar biasanya Pasal 31 Ayat 2 [UUD 1945] ini, tidak disinggung dalam perencanaan pembangunan pendidikan [pemerintah] itu, luar biasanya itu dua kali menyebut wajib dalam satu ayat,” kata Guntur.
Guntur bahkan merasa terharu ketika memikirkan bagaimana para penyusun UUD begitu memperhatikan pendidikan generasi selanjutnya. Pemerintah, kata Guntur, memang bisa mengatakan sudah melakukan intervensi dengan bantuan seperti BOS dan KIP. Namun, ia mengingatkan bahwa pemohon inginnya pemerintah mengikuti mandat UUD 1945 di mana pendidikan dasar wajib dibiayai pemerintah.
“Makanya saya heran, kalau Pak Deputi [Amich] tadi mengatakan pemerintah tidak mungkin, lho ini ketentuan konstitusi kok, wajib. Jadi dua kali disebut wajib, Pak,” ucap Guntur.
Respons Pemerintah
Deputi Bidang Pembangunan, Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Amich Alhumami, menyatakan pemerintah sebetulnya sudah melakukan intervensi pembiayaan di pendidikan dasar baik di sekolah negeri ataupun swasta. Untuk di swasta sendiri, Amich mengaku memang ada skala prioritas di mana bantuan seperti BOS dan KIP tidak dipukul rata.
Untuk BOS, kata dia, memang diberikan untuk seluruh sekolah, termasuk swasta. Adapun untuk bantuan KIP diprioritaskan kepada siswa dengan ekonomi menengah ke bawah, termasuk yang bersekolah di swasta.
“Kita harus membuat analisis kategoris dulu, supaya aspirasi tanpa memungut biaya. Nah itu harus dipilah kelompok-kelompok mana yang memang disitu eligible menurut status sosial ekonomi mereka untuk tidak dipungut biaya,” kata Amich ketika ditemui di kantornya, di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2024).
Maka dari itu, Amich memandang bila MK mengabulkan gugatan perkara ini, akan ada sejumlah konsekuensinya. Bila ini berlaku universal tanpa pengecualian, maka pemerintah harus membiayai juga sekolah swasta yang bertaraf internasional. Dia menilai, justru hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan baru.
“Yang paling mungkin itu adalah dengan untuk mengurangi supaya tidak ada pungutan di swasta. Mungkin ya itu nanti gaji guru yang bisa ditimbang untuk jadi beban negara, tapi ini kita bicara masih kemungkinan aja kan belum putusan,” ujar Amich.
Amich menilai, alokasi anggaran pendidikan 20 persen itu sudah dipertimbangkan dengan matang di pos pendidikan masing-masing. Mereka meliputi kementerian/lembaga dan dana transfer daerah.
Adapun jika harus mengorbankan anggaran pendidikan lain untuk pendidikan dasar, tentu akan menimbulkan kekurangan. Ia menilai, untuk pemerintah seandainya bisa membiayai gaji guru swasta saja, kemungkinan butuh tambahan Rp30 triliun. Dan pemerintah menilai tidak bisa anggaran tersebut memakan anggaran pendidikan di pos lainnya.
“Jadi kalau misalnya tadi konsekuensi penganggaran katakanlah gaji guru, harus juga ditanggung APBN lagi butuh ditambah. Kemarin saya sebut dalam perhitungan kasar ini, belum menghitung real-nya ya, itu kira-kira Rp30 triliun,” jelas dia.
Amich menyatakan pemerintah menghargai gugatan perkara ini sebab ada kesadaran dari masyarakat luas untuk melakukan perbaikan penyelenggaraan pendidikan. Kekinian, ia mengaku pemerintah masih menunggu putusan MK soal perkara ini untuk langkah lebih lanjut ke depan.
“Pemerintah tentu amat sangat memahami situasi itu, jadi tentu bagus untuk disuarakan sebagai bagian dari menyatakan hak warga negara dan juga dipayungi oleh konstitusi,” pungkas Amich.
#trt/bin