JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Langkah ini diambil sebagai upaya melindungi peserta didik agar mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
Dengan regulasi ini, Kemendikbudristek juga memperkenalkan modul belajar sebagai sarana edukasi dalam mencegah dan menangani kekerasan di sekolah.
“Berdasarkan asesmen tahun 2022, sebanyak 34,3 persen peserta didik atau satu dari tiga siswa berpotensi mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 26,9 persen mengalami hukuman fisik, dan 36,6 persen berpotensi menjadi korban perundungan,” ungkap Muhammad Hasbi, Direktur Sekolah Dasar, dalam Webinar Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah Dasar pada 6 Agustus 2024.
Hasbi menambahkan, data ini diperkuat oleh survei nasional anak dan remaja tahun 2021 yang menunjukkan bahwa 34 persen anak laki-laki dan 41,5 persen anak perempuan usia 13 hingga 17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan.
"Pengetahuan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan, terutama kekerasan seksual, menjadi sangat krusial," tegasnya.
Kemendikbudristek telah membentuk tim khusus di setiap satuan pendidikan untuk mencegah dan menangani kekerasan, sesuai dengan amanat Permendikbud tahun 2023. Selain itu, modul ajar yang baru diluncurkan ini bertujuan meningkatkan pemahaman dalam mencegah kekerasan di sekolah.
Pebi Sukamdani dari Pusat Penguatan Karakter menyoroti dampak kekerasan yang tidak hanya mengancam siswa, tetapi juga seluruh komunitas pendidikan.
"Kekerasan bisa menghambat akses pendidikan, bahkan menghilangkan sumber penghidupan," ujarnya.
Pebi menegaskan, korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, sering kali merasa malu untuk kembali ke sekolah, yang pada akhirnya mengganggu akses pendidikan mereka.
Ada enam jenis kekerasan yang diidentifikasi dalam peraturan Kemendikbudristek, yakni kekerasan fisik, psikis, perundungan, seksual, kekerasan berbasis dokumentasi, serta intoleransi. Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi secara fisik, verbal, nonverbal, hingga melalui media teknologi dan informasi, termasuk daring.
Untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbudristek telah merilis empat modul ajar untuk jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA/SMK. "Modul ini dapat diakses melalui laman resmi Kemendikbudristek," ujar Pebi.
Firman Rizkiana, guru SDN Utan Kayu Utara 11, menambahkan bahwa salah satu cara mencegah kekerasan adalah dengan membantu anak mengenali dirinya sendiri, terutama pada jenjang PAUD.
"Anak perlu belajar mengenal jati diri dan identitasnya sebagai bagian dari masyarakat, serta memandang perbedaan di sekitarnya secara positif," jelas Firman.
Pada jenjang SD, lanjut Firman, anak sudah harus mampu mengenali dirinya sebagai bagian dari kelompok, seperti suku, agama, atau bangsa. “Anak harus bangga dengan identitasnya, karena ini adalah kunci untuk membangun kepercayaan diri,” ujarnya.
Lizza Amalia Fauziah, guru SDN Rawamangun 01, menuturkan bahwa dalam mencegah kekerasan dan perundungan di sekolah, peserta didik perlu dibekali pemahaman tentang perubahan diri dan pubertas. "Guru harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan menghindari situasi yang memungkinkan siswa saling mengejek," tegas Lizza.
Modul ini juga mengajarkan tiga langkah dalam mengenalkan perubahan diri dan pubertas: mengenalkan perbedaan gender melalui contoh terdekat, memisahkan pembahasan sesuai jenis kelamin, dan memperkuat konsep diri positif. “Dengan edukasi yang tepat, kita dapat membantu siswa menghadapi perubahan diri dan pubertas dengan lebih baik,” pungkas Lizza.
#hen/ede