JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghapus jurusan IPA, IPS dan Agama pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Penerapan kebijakan ini dinilai dapat mengurangi jam kerja guru.

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyatakan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka yang membebaskan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat mereka menimbulkan tantangan dalam pengelolaan kelas dan ketersediaan guru.

"Sekolah dengan kapasitas besar mungkin dapat menyesuaikan, namun sekolah kecil dengan fasilitas dan sumber daya guru yang terbatas akan kesulitan. Jika setiap siswa memilih mata pelajaran yang berbeda, maka skenario kelasnya harus banyak," ujar Iman, seperti dilansir dari NU Online, Sabtu (20/7/2024).

Iman mengungkapkan bahwa Kurikulum Merdeka jauh lebih fleksibel, meski beban kerja cukup besar, namun bisa dialihkan dengan kegiatan-kegiatan lain seperti menjadi pembimbing project P5.

"Itu dalam kondisi ideal, tetapi dalam kenyataannya ini juga sangat merepotkan sekolah karena sumber daya guru dan pilihan siswa harus sinkron. Jika tidak, sekolah akan kekurangan guru karena pilihan-pilihan siswa mungkin tidak bisa diprediksi," ungkapnya.

Dilihat dari tujuan utamanya, kata Iman, kebijakan ini cukup fleksibel, namun ia berharap Kemendikbud melihat kondisi lapangan agar ada solusi setelah melihat sumber daya guru di sekolah dan minat bakat anak terakomodir.

"Kami kira kebijakan ini baik, tetapi harus dipertimbangkan kondisi lapangan, terutama di sekolah dengan sumber daya guru yang kurang dan kapasitas sekolah dalam membuka skenario kelas. Makin banyak pilihan, makin banyak kelas, dan ada kemungkinan guru tidak mendapatkan jamnya. Ini harus dipikirkan,” jelasnya.

Kendati demikian, Iman sepakat bahwa penghapusan jurusan ini dinilai lebih fleksibel bagi siswa karena tidak dikotak-kotakkan lagi dengan jurusan IPA, IPS atau Agama, sehingga tidak ada diskriminasi prodi ketika hendak melanjutkan kuliah.

"Kami harap Kementerian harus melihat kondisi lapangan sehingga kemudian kebijakannya ini yang tadinya berpihak kepada minat dan bakat anak karena terbatas minimnya akses dan sumberdaya guru  di sekolah tersebut minat dan bakat malah tidak terakomodir,” jelas Iman

Senada dengan itu, Pengamat Pendidikan, Edi Subkhan, juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Menurut Edi, penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA berpotensi tidak dapat memenuhi jumlah minimal jam mengajar guru karena minat siswa belajar mata pelajaran pilihan yang diampu guru tersebut mungkin tidak ada.

“Ini harus diantisipasi, karena jika mengikuti aturan lama, guru harus minimal memenuhi jumlah 24 jam mengajar per minggu. Kalau tidak, hak sertifikasi dan tunjangan mereka akan tersendat,” ungkapnya.

Edi menambahkan bahwa kebijakan baru seharusnya tetap memberikan hak guru meski mereka tidak mengajar sesuai bidangnya. Jika tidak ada siswa yang memilih mata pelajaran tertentu, guru tersebut bisa diberi jam mata pelajaran lainnya atau tanggung jawab lain.

"Hal ini tentu perlu intervensi kebijakan pusat terkait sertifikasi," pungkasnya.

#nuo/bin




 
Top