JAKARTA -- Berdasarkan data Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, pada 2022, emisi sektor industri naik 30 persen dibandingkan 2021, mencapai lebih dari 400 juta ton setara karbon dioksida. Implementasi lima pilar dekarbonisasi industri dianggap perlu dilakukan, untuk menurunkan emisi, membatasi kenaikan suhu global melebihi 1,5 derajat Celcius, serta meraup manfaat lainnya seperti meningkatkan daya saing, menekan biaya operasional dan membuka peluang pekerjaan hijau.

Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, menyebut emisi sektor industri dominannya berasal dari penggunaan energi yang menggunakan batu bara. 

Berdasarkan kajian IETO 2024, pada 2022, konsumsi energi setidaknya berkontribusi terhadap lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca (GRK) industri, sementara sisanya berasal dari emisi proses industri dan limbah.

Dekarbonisasi industri, kata Deon, dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk bergerak menuju keberlanjutan dan strategi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dan menjadi upaya mitigasi kenaikan suhu bumi.

"Komitmen dekarbonisasi industri akan membuka peluang target pasar baru dan menaikkan daya saing produk, terutama melihat masa depan yang akan bergerak ke arah produk yang lebih berkelanjutan,” kata Deon, dalam sebuah acara yang diselenggarakan IESR, bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian tersebut, Kamis (20/6/2024).

Analis Energi IESR, Muhammad Dhifan Nabighdazweda, menyarankan tiga langkah untuk mencapai emisi lebih rendah dan mendorong dekarbonisasi industri melalui teknologi rendah karbon. Pertama, menetapkan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik untuk semua sektor industri.

Kedua, mengembangkan regulasi sertifikasi untuk produk hijau dan teknologi baru seperti hidrogen dan CCUS. Ketiga, memperkuat kerja sama antara industri, pemerintah, dan akademisi untuk riset teknologi rendah karbon dan pengembangan sumber daya manusia.

Kajian yang dilakukan IESR mengungkapkan lima pilar dekarbonisasi industri yakni efisiensi sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, menggunakan bahan bakar, bahan baku dan sumber energi rendah karbon, serta pemanfaatan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS), khususnya untuk mengurangi emisi dari proses yang sulit di dekarbonisasi secara teknis.

“Sektor industri sangat beragam sehingga membutuhkan solusi yang bervariasi. Implementasi pilar dekarbonisasi perlu mempertimbangkan segi ekonomi dan teknis," kata Dhifan.

Lebih lanjut Dhifan mengatakan, pemerintah dapat mendorong penggunaan energi terbarukan untuk industri, seperti melalui pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, memberikan insentif bagi industri yang menerapkan teknologi rendah karbon, dan mendukung penelitian dan pengembangan teknologi rendah karbon yang masih dalam tahap komersialisasi.

Analisis IESR juga menunjukkan, sektor industri dapat tumbuh dan berkembang dengan melakukan lima pilar dekarbonisasi. Industri dapat menghemat biaya produksi hingga 30 persen dengan penerapan efisiensi energi dan efisiensi sumber daya.

Selain itu, biaya untuk bahan produksi yang tidak dapat digunakan kembali, bisa dikurangi hingga 66 persen. Manfaat lainnya dari dekarbonisasi industri adalah potensi penghematan biaya pajak karbon, penghematan biaya pengendalian dampak lingkungan, menaikkan kualitas lingkungan dan keberagaman hayati, membuka peluang pekerjaan hijau, dan menurunkan kebutuhan subsidi kesehatan.

Dalam acara tersebut Kepala Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha, mengungkapkan sektor industri memainkan peran krusial dalam ekonomi, namun juga menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan. Untuk itu, ia menekankan, kebijakan pengurangan emisi sektor industri perlu diimplementasikan secara konsisten, inklusif dan kuat.

“Salah satu upaya pengurangan emisi sektor industri dengan penerapan nilai ekonomi karbon. Saat ini kami tengah melakukan berbagai persiapan untuk dekarbonisasi, seperti merumuskan peta jalan perdagangan karbon untuk industri, Peraturan Menteri Industri (Permenperin) Perdagangan Karbon, batas atas perdagangan karbon, tata laksana perdagangan karbon, dan sistem informasi terintegrasi perdagangan karbon,” ujar Apit.

#raw/bin




 
Top