PADANG — Sebanyak 17 anggota Sabhara Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) terbukti melanggar prosedur standar operasi atau SOP dalam pencegahan tawuran. Mereka menggunakan kekerasan terhadap belasan anak dan pemuda yang ditangkap. Adapun penyebab kematian Afif Maulana (13), bocah yang sebelumnya diduga turut disiksa aparat, belum terungkap.

Kapolda Sumbar Irjen Pol. Suharyono di Padang, Kamis (27/6/2024), mengatakan ada sekitar 40 anggota polisi yang diperiksa terkait dugaan tindak penyiksaan atau kekerasan terhadap 18 anak dan pemuda yang ditangkap karena hendak tawuran. Di antara 18 anak dan pemuda itu, katanya, tidak ada nama Afif Maulana.

”Sebanyak 17 anggota (polda) diduga terbukti memenuhi unsur. Kami sedang mencari obyeknya. Kalau anggotanya dan apa yang dilakukannya, sudah saya sampaikan, ancaman hukumannya sudah ada,” kata Suharyono usai kegiatan monitoring dan klarifikasi oleh Kompolnas di Padang.

Menurut Suharyono, proses hukum terhadap 17 anggota polisi sedang dalam pemberkasan, termasuk memastikan tindakan mereka ketika memeriksa 18 anak dan pemuda di Polsek Kuranji pada Minggu (9/6/2024) dini hari.

Suharyono tidak menjelaskan bentuk pelanggaran atau kekerasan yang dilakukan 17 anak buahnya terhadap 18 anak dan pemuda tersebut. Ia hanya menyebut anak buahnya melanggar kode etik atau tidak sesuai SOP dalam proses mengamankan dan melakukan pemeriksaan terhadap 18 anak dan pemuda itu.

”Kami sudah umumkan 17 anggota kami akan disidangkan, apakah nanti sidang komisi kode etik atau pidana, nanti kelanjutannya,” ujarnya.

Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Benny Jozua Mamoto mengatakan, dalam monitoring dan klarifikasi, Kapolda Sumbar sudah menyampaikan hasil pemeriksaan anggotanya secara internal dan memang ditemukan ada pelanggaran. Kapolda dalam forum itu mengumumkan siapa saja yang terlibat dan akan ditindak sesuai aturan.

”Apa yang beredar di media, beberapa terbukti, seperti menyundut rokok, memukul, menendang, dan sebagainya. Sudah diakui (oleh polisi),” kata Benny.

Menurut Benny, pelaku tindak kekerasan atau penyiksaan itu mesti diproses secara hukum, baik secara etik maupun pidana, sesuai hasil pemeriksaan dan pendalaman. Perbuatan melanggar SOP tersebut mestinya juga jadi evaluasi bagi Polda Sumbar ketika bertugas mencegah dan menanggulangi tawuran remaja.

Kasus Afif Maulana

Selain dihadiri Kompolnas dan Polda Sumbar, monitoring dan klarifikasi itu juga dihadiri oleh saksi A (Aditya) yang berboncengan dengan Afif Maulana saat kejadian, ahli atau dokter forensik, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sebagai kuasa hukum dan keluarga almarhum Afif Maulana, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan lainnya.

Dalam forum itu, ada penjelasan dokter forensik dan tanya jawab seputar kematian Afif Maulana yang ditemukan meninggal pada Minggu (9/6/2024) pukul 11.55 WIB di bawah jembatan saat pencegahan tawuran oleh aparat.

”Kasus Afif Maulana, ahli hadir untuk menjelaskan. Sudah dijelaskan ahli, ahli membuka diri terhadap pertanyaan dari LBH Padang, sudah terjawab semua,” kata Benny. Ketika ditanya lebih lanjut soal penjelasan ahli dan saksi A, Benny melemparnya ke Kepala Polda Sumbar.

Suharyono mengatakan, terkait keterangan saksi A yang bagi polisi merupakan saksi kunci, akan disampaikan pada kesempatan lain. ”Nanti akan kami sampaikan lagi. Yang pasti semuanya sudah disuguhkan fakta-fakta sebagaimana yang diminta oleh LBH Padang,” katanya.

Misteri penyebab kematian

Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan, penyebab kematian Afif Maulana masih misteri. Sebab, keterangan saksi A yang melihat posisi terakhir Afif berbeda dengan posisi penemuan mayat Afif, begitu pula ada perubahan pernyataan dari aparat soal proses kematian Afif.

Dalam forum itu, kata Indira, saksi A mengakui bersama Afif terjatuh ke sisi kiri jembatan (jalur ke arah bandara) usai sepeda motor mereka ditendang anggota Sabhara Polda Sumbar pada Minggu dini hari.

”Saksi A tidak melihat langsung Afif Maulana melompat (ke sungai). Katanya, memang dia (Afif) berada di sisi kiri jembatan (arah hilir sungai), sedangkan mayat Afif ditemukan di tengah jembatan (arah hulu sungai),” kata Indira.

Ada beberapa perubahan statement, dari melompat jadi terpeleset.

Dokter forensik dalam forum itu, kata Indira, juga mengatakan, Afif Maulana diduga terpeleset sehingga bagian kiri tubuhnya memar. Sementara itu, sebelumnya Kepala Polda Sumbar menyebut Afif melompat ke Sungai atau Batang Kuranji yang berada 100-200 meter dari Polsek Kuranji.

”Ada beberapa perubahan statement, dari melompat jadi terpeleset. Kami tetap mencari opini kedua untuk memastikan situasi ini. Kami ingin tahu jelas-jelas secara independen apa yang terjadi pada Afif Maulana,” ujar Indira.

Menurut Indira, LBH Padang akan meminta hasil otopsi almarhum Afif Maulana dan rekaman CCTV, baik di lokasi penangkapan 18 anak dan pemuda itu maupun di Polsek Kuranji. Sebab, ada saksi yang menyebut Afif Maulana juga ikut digelandang dan mendapat kekerasan di kantor Polsek Kuranji.

”Kasus Afif masih misteri. Kami mengupayakan terlebih dahulu ada scientific evidence-nya,” ujarnya.

Indira melanjutkan, hal baik yang mereka dapatkan di forum tersebut adalah Kepala Polda Sumbar mengakui ada anak buahnya yang melanggar prosedur dan sedang diproses oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumbar. LBH Padang mendorong pelakunya tidak hanya diproses secara etik, tetapi juga secara pidana.

”Kami mendorong itu. Selain memastikan keadilan untuk Afif, kami juga ingin memastikan keadilan bagi anak-anak lainnya yang juga mendapat penyiksaan pada Minggu dini hari itu,” katanya.

Rehabilitasi korban

Anggota KPAI, Dian Sasmita, usai kegiatan di Polda Sumbar, mengatakan, ia tengah meminta data detail 18 orang yang ditangkap di Polsek Kuranji pada kejadian Minggu dini hari. Komisi hendak mengidentifikasi berapa orang yang tergolong anak saat penangkapan itu untuk memastikan kondisinya.

”Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan lembaga layanan pemerintah daerah bisa hadir untuk anak-anak ini,” katanya.

Terkait anggota polisi yang terbukti menyiksa di antara 18 orang itu, Dian mendorong proses hukum tidak berhenti pada sidang etik saja, tetapi juga diproses secara hukum pidana. Perbuatan aparat terhadap anak-anak itu sudah tergolong kekerasan, seperti menendang, menyundut rokok, menggunakan pistol elektrik.

”Perbuatan itu sudah bentuk wujud kekerasan karena mengakibatkan penderitaan fisik dan psikis. Tidak ada satu pun anak di dunia yang layak mendapat kekerasan dari siapa pun,” ujar Dian.

#tpc/imt




 
Top