Oleh: Novita Maulidya Djalal #


MARAKNYA kasus bullying di lingkungan sekolah saat ini menjadi perhatian pemerintah. Kasus bullying bukan hanya sekadar masalah individual antara pelaku dan korban, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam pengawasan dan  pendidikan karakter di lingkungan  pendidikan.

Bullying masih menjadi isu serius yang terus diperbincangkan hingga saat ini. Secara etimologi, bullying berasal dari kata “bull” atau “buffalo” yang berarti hewan yang menyeruduk, mencerminkan tindakan agresif pelaku terhadap korban.

Bullying tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi dapat terjadi di mana saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, termasuk di lingkungan kantor.

Bullying bersifat merusak karena melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku yang memiliki power dan korban yang dianggap powerless.

Bullying memiliki dampak yang luas, mulai dari fisik, psikis, hingga ekonomi. Dari sisi fisik, korban bisa mengalami luka, memar, bahkan hingga kematian. 

Secara psikologis, anak-anak yang menjadi korban bullying fisik seringkali mengalami kecemasan tinggi, ketakutan dan masalah harga diri yang dapat mengganggu kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain di masa depan.

Selain bullying fisik, terdapat juga bullying psikologis yang melibatkan intimidasi, penghinaan verbal, serta diskriminasi berdasarkan status sosial dan ekonomi.

Korban bullying sering merasa tidak berharga dan powerless, karena mereka kurang memahami potensi diri mereka.

Dari sisi pelaku, para pelaku bullying biasanya memiliki karakteristik dominan, agresif dan kurang peka. Pelaku sering kali merasa lebih kuat secara fisik dan memiliki keinginan untuk menunjukkan kekuatan mereka agar diakui oleh orang lain.

Pelaku bullying menggunakan kekuatan yang mereka miliki untuk tujuan yang tidak diharapkan secara sosial.

Ada beberapa faktor yang teridentifikasj mendorong seseorang menjadi pelaku bullying. Salah satunya adalah faktor individu, terutama pada usia remaja yang sedang mencari jati diri.

Remaja sering kali merasa perlu menunjukkan kekuatan mereka untuk diakui dalam kelompok sosial mereka.

Selain itu, pelaku bullying sering kali mengalami bias kognitif, mempersepsikan tindakan menyerang orang lain sebagai cara untuk menyampaikan pendapat atau keinginan mereka.

Minimnya empati juga menjadi faktor penting. Pelaku bullying tidak mampu merasakan apa yang dirasakan oleh korban mereka. Mereka tidak bisa memahami dampak dari tindakan mereka terhadap orang lain.

Selain faktor individu, lingkungan keluarga juga berperan besar. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang agresif, di mana masalah diselesaikan dengan kekerasan, cenderung meniru perilaku tersebut.

Keluarga yang tidak mengajarkan empati atau yang menunjukkan perilaku kasar dapat mempengaruhi anak untuk menjadi pelaku bullying.

Lingkungan pertemanan dan media sosial juga turut berkontribusi. Media sosial sering kali memperlihatkan bullying sebagai sesuatu yang lumrah atau bahkan lucu, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan remaja tentang apakah bullying itu baik atau buruk.

Nilai-nilai budaya dan agama yang tertanam dalam masyarakat juga berperan dalam membentuk perilaku bullying.

Prinsip-prinsip yang bisa jadi solusi untuk bully masih dicontohkan. Misalnya tenggang rasa, toleransi, kerjasama, tolong menolong. Jika prinsip-pronitu tetap ditanamkan sejak kecil, insya Allah akan jadi solusi menekan bully.

Terbaru, sebuah video yang menampilkan adegan bullying di SMP di  Makassar baru-baru ini telah menghebohkan publik dan menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat. 

Kasus ini khususnya menyoroti ketidakamanan yang dihadapi anak-anak di sekolah, terutama mereka yang rentan seperti anak dengan kebutuhan khusus (ABK).

Dalam video tersebut, terlihat seorang siswa yang menjadi korban diintimidasi dan dianiaya oleh sejumlah siswa lainnya di area sekolah. 

Adegan kekerasan yang terdokumentasi secara jelas dalam video tersebut telah menjadi perbincangan hangat di media sosial dan menyita perhatian banyak pihak.

Wali Kota  Makassar, Moh Ramdhan Pomanto, juga menanggapi kasus ini. Ia berpesan, kasus ini harus dikontrol dan diselidiki dengan baik. Ia menegaskan tak ada toleransi bagi pelaku bullying.

Peristiwa ini juga menjadi momentum bagi pemerintah daerah dan pihak terkait untuk mengevaluasi kebijakan dan langkah-langkah preventif yang lebih efektif dalam mencegah dan menanggulangi kasus bullying di sekolah-sekolah.

Publik diimbau untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak, terutama yang berada dalam situasi rentan seperti korban bullying. 

Maraknya kasus bullying juga menjadi panggilan bagi semua pihak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghormati perbedaan dan mempromosikan sikap toleransi serta empati di kalangan generasi muda.

# Novita Maulidya Djalal adalah penulis aktif yang mengabdikan ilmu sebagai dosen di Fakultas Psikologi UNM pada Matakuliah Psikologi Pendidikan dengan stressing pada pskologi perkembangan anak, remaja dan lansia, psikologi anak berbakat, psikologi bimbingan konseling sekolah dan lain-lain. 

Ia juga seorang psikolog, trainer, peneliti, tentor, konsultan pendidikan di Bimbingan Belajar Matematika Yayasan Djalaluddin Mulbar (YDM) di Makassar, serta founder komunitas Enigma Anak dan Remaja. 

Ia juga aktif melakukan penelitian terkait Ilmu Psikologi di bidang Pendidikan dan Perkembangan.




 
Top