PADANG -- Kapolda Sumatera Barat (Sumbar), Irjen Pol Suharyono banjir kritik usai dirinya berencana mencari orang yang menarasikan tewasnya Afif Maulana (AM) karena disiksa polisi.
Diketahui, pernyataan Suharyono ini disampaikannya saat konferensi pers di Mapolda Sumbar pada Minggu (23/6/2024).
Suharyono menegaskan tewasnya Afif karena terjun ke jembatan Kuranji, Padang, Sumbar pada Minggu (9/6/2024) lalu.
Ia mengatakan hal itu diketahui dari kesaksian rekan korban berinisial A.
"Kami perlu luruskan di sini telah viral di media massa, adanya trial by the press bahwa polisi telah menganiaya seseorang sehingga berakibat hilangnya nyawa orang lain. Itu tidak ada bukti dan saksi sama sekali," katanya.
Sehingga, dia mengungkapkan adanya informasi bahwa tewasnya Afif karena disiksa polisi tidaklah benar.
Suharyono pun berencana bakal mencari dan memintai keterangan pihak yang menarasikan tewasnya Afif karena disiksa polisi.
"Dia harus (beri) testimoni, 'Apakah kamu benar melihat (kejadian), kamu kok ngomong begitu? Kamu, kan, sudah trial by the press, menyampaikan ke pers sebelum fakta yang sebenarnya cukup bukti atau tidak, atau kamu hanya asumsi dan ngarang-ngarang," jelasnya.
Terkait hal ini, Suharyono pun dikritik oleh beberapa pihak seperti Indonesia Police Watch (IPW) dan pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel.
Terbaru, Komnas HAM pun turut mengkritik Suharyono dengan menganggap pernyataan jenderal bintang dua itu intimidatif.
Komnas HAM Sebut Suharyono Intimidatif
Komisoner Komnas HAM, Hari Kurniawan mengungkapkan pernyataan Suharyono yang akan mencari orang yang memviralkan Afif tewas karena disiksa polisi adalah intimidatif.
"Ya ini bentuk intimidasi," katanya dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2024).
Hari mengatakan langkah Polda Sumbar tersebut membuat keluarga korban ketakutan, termasuk 18 korban penganiayaan lainnya yang masih hidup.
Ia mengungkapkan keluarga para korban bakal merasa takut karena anaknya kemungkinan akan diproses hukum lantaran dianggap mendiskreditkan citra kepolisian.
Selain itu, Hari juga menambahkan adanya intimidasi itu bakal memengaruhi psikologi para korban.
Hal ini, imbuhnya, turut memengaruhi keterangan dari para korban karena merasa ketakutan.
"Bahkan (akibat intimidasi) bisa jadi nanti keterangan A jadi berubah jadi B. Ini yang kita minta upaya kami supaya segera mungkin untuk memberikan surat perlindungan bagi korban," kata dia.
Alhasil, Hari meminta Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghentikan upaya intimidasi yang dilakukan Polda Sumut.
"Kepada Kapolri untuk menghentikan segala bentuk intimidasi kepada keluarga korban," ucap Hari.
IPW: Polisi Jangan Resisten
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso meminta kepolisian Polda Sumatera Barat jangan resisten atau menentang kritik masyarakat terkait adanya dugaan tewasnya Afif karena disiksa polisi.
Sugeng mengatakan narasi adanya dugaan polisi menyiksa AM menjadi bentuk kritik agar kepolisian bekerja sesuai dengan aturan.
"Polisi tidak boleh resisten terhadap kritik masyarakat seperti yang disampaikan di medsos bahwa diduga korban mati karena dianiaya polisi, itu adalah salah satu bentuk kritik kepada Polri agar aparaturnya bekerja menurut aturan undang-undang dan HAM," katanya, Senin (24/6/2024).
"Jadi jangan diserang orang yang mengkritik lewat medsos," sambungnya.
Di sisi lain, Sugeng juga meminta agar penyelidikan kasus ini jangan terkesan ditutupi sehingga menimbulkan asumsi bahwa ada upaya melindungi anggota kepolisian.
"Pemeriksaan perkara matinya korban anak ini tidak boleh dilakukan secara menyembunyikan fakta, melindungi anggota apabila ada dugaan pelanggaran prosedur maupun tindakan kekerasan. Harus didalami secara obyektif, transparan, dan hak asasi bagi korban dan keluarganya," tegasnya.
Terpisah, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengkritik pernyataan Suharyono yang menurutnya terkesan defensif dengan berupaya mencari penyebar informasi bahwa tewasnya Afif karena disiksa polisi.
Reza menilai, pernyataan Suharyono tersebut bisa membuat adanya dugaan upaya menutup-nutupi kesalahan anggotanya sendiri.
"Kapolda juga perlu ekstra hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Pernyataan yang terkesan defensif akan sangat berisiko dinilai sebagai cara menutup-nutupi kesalahan sejawat atau silence wall atau curtain code," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (24/6/2024).
Reza mengatakan seharusnya Polda Sumbar menginisiasi dilakukannya eksiminasi dengan melibatkan masyarakat guna menjembatani komunikasi dengan publik.
Menurutnya, hal yang perlu dieksiminasi salah satunya adalah kemungkinan adanya implisit bias atau prasangka anggota polisi terhadap kelompok tertentu.
"Akibat implisit bias, polisi bisa punya kewaspadaan bahkan kecurigaan eksesif terhadap situasi tertentu. Misalnya begitu melihat kerumunan orang di malam hari, polisi langsung mengasosiasikannya sebagai ancaman bahkan bahaya," tuturnya.
Reza mengungkapkan kemungkinan semacam itu bisa terjadi hingga taraf personel polisi cuma memikirkan keselamatannya sendiri.
Sehingga, tindakan yang dilakukannya dalam konteks penghalauan kerumunan berujung pada kebrutalan.
"Tambahan lagi jika di situ ada benda-benda yang dianggap dapat mencederai bahkan mematikan, proses berpikir personel bisa terjun bebas ke level instinktif, yaitu fight to survive. Perilaku brutal dapat muncul dalam situasi sedemikian rupa," pungkasnya.
#trb/kpc/bin