JAKARTA -- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera didesak Partai Buruh untuk dicabut oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Melalui aturan ini pemerintah akan memungut iuran 3 persen dari gaji pekerja di atas UMR.
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan setidaknya ada enam alasan PP Tapera harus dicabut. Dia mengatakan potongan gaji untuk iuran 3 persen dari upah buruh tak akan menjamin kalangan pekerja memiliki rumah.
“Dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Apalagi hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi,” kata Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Ahad, Minggu (2/5/2024).
Selain itu, Iqbal mengatakan PP Tapera ini justru menunjukkan pemerintah lepas tanggung jawab untuk memberikan jaminan bagi masyarakat. Dia menyebutkan dalam aturan itu tak ada klausul yang mengatakan pemerintah ikut membayar iuran untuk Tapera.
“Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Oleh karena itu, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya,” kata dia.
Tak hanya itu, Said Iqbal juga menuding PP Tapera ini justru membebani biaya hidup para buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun hingga 30 persen dan upah minimum rendah, dia mengatakan iuran Tapera akan memperparah kondisi buruh.
Iqbal juga menceritakan kondisi buruh saat ini telah memberikan potongan hampir 12 persen dari upah yang mereka terima. Campuran itu berupa pajak penghasilan 5 persen, iuran jaminan kesehatan 1 persen, iuran jaminan pensiun 1 persen, iuran jaminan hari tua 2 persen dan rencana iuran Tapera 2,5 persen hingga 3 persen.
“Belum lagi jika buruh memiliki hutang di koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin membebani biaya hidup buruh,” katanya.
Alih-alih menjamin kelas pekerja memiliki rumah melalui iuran, Said Iqbal menyebut uang hasil pungutan itu berpotensi besar disalahgunakan. Dia mengatakan dalam cakupan kerja buruh hanya ada dua sistem jaminan, yaitu jaminan sosial dan bantuan sosial.
Dalam jaminan sosial sumber pendanaannya berasal dari peserta atau pajak dengan penyelenggara independen alias bukan pemerintah. Sedangkan dalam bantuan sosial sumber pendanaannya berasal dari APBN dan APBD yang diselenggarakan oleh pemerintah.
“Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah,” kata Said Iqbal. Selain itu, Said Iqbal juga menilai iuran Tapera harus bersifat sukarela dan tak boleh memaksa.
Selain rentan dikorupsi, Said Iqbal juga menyebut uang hasil iuran ini juga tak jelas sekaligus rumit dalam pencairannya. Kondisi ini disebut berkelindan dengan situasi buruh swasta dan masyarakat umum yang bisa saja memutuskan hubungan kerja setiap saat.
Said Iqbal menilai iuran Tapera ini lebih tepat ketika hanya untuk aparatur sipil negara atau ASN, TNI, dan Polri yang tak ada pemutusan hubungan kerja.
“Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan tidak adanya dana Tapera,” katanya.
Menyikapi PP Tapera ini, Saiq Iqbal menyebut Partai Buruh dan KSPI akan menggelar aksi besar yang melibatkan ribuan buruh. Rencananya unjuk rasa itu akan diadakan pada Kamis, 6 Juni mendatang di Istana Negara untuk mendesak pemerintah mencabut PP Tapera.
“Selain itu, para buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan menghapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM), kata dia.
Selain aksi unjuk rasa, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan uji materi UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan uji materi PP Tapera ke Mahkamah Agung.
#stj/bin