JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyampaikan bahwa presiden tidak boleh berkampanye. Hal tersebut disampaikan Bivitri menanggapi pernyataan Joko Widodo atau Jokowi bahwa presiden dibolehkan berkampanye dan memihak.
BACA JUGA: Jokowi Sebut Presiden Boleh Berkampanye, Anies: Bernegara Tidak Bisa Berdasarkan Selera Seseorang..
"Ini sebenarnya melanggar hukum. Jadi, keliru dia (Jokowi) katakan presiden boleh berkampanye, itu salah. Presiden maupun menteri-menteri boleh berpolitik, boleh memihak. Tapi berkampanye dan menyatakan dukungan secara nyata itu tidak boleh,” kata Bivitri dalam program Kompas Petang di Kompas TV, Rabu (24/1/2024).
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu menyoroti Jokowi yang merujuk pasal 282 UU Pemilu sebagai alasan boleh kampanye asalkan tidak menggunakan fasilitas negara.
Menurut Bivitri, ketentuan mengenai kampanye oleh pejabat publik diatur lebih lanjut dalam pasal 280, 281, dan 301-307 UU Pemilu. Ia pun mempertanyakan ukuran yang bisa digunakan untuk menilai apakah pejabat publik bisa dikatakan menggunakan fasilitas negara atau tidak.
"Intinya adalah dia mengatur secara terang bahwa tidak boleh ada perilaku dari presiden dan semua pejabat negara lainnya untuk memihak salah satu kandidat,” kata Bivitri.
"Asal tidak pakai fasilitas negara, ukurannya apa? Katakanlah ambil cuti, siapa yang bisa membedakan antara fasilitas negara yang tidak dimiliki atau dimiliki? Misalnya ajudan, mobil kantor, itu kan fasilitas kantor semua?" lanjutnya.
Lebih lanjut, Bivitri berpendapat bahwa, secara prinsip, UU Pemilu melarang adanya “cawe-cawe” dari pejabat publik, apalagi presiden. Ia menilai bahwa banyak dari pasal-pasal dalam UU Pemilu yang saling bertabrakan.
Bivitri berpendapat bahwa, menurut undang-undang, keterlibatan presiden dalam kampanye dibatasi sebagai peserta saja. Menurutnya, presiden dilarang menjadi penyelenggara kampanye untuk kandidat tertentu.
Selain itu, Bivitri menyorot efek dari kampanye pejabat publik terhadap komitmen netralitas ASN.
Kalau berkampanye, kita juga jangan lupa, wewenang presiden atau menteri itu menghasilkan pengaruh, atau instruksi, apalagi dalam msyarakat feodalistik seperti di Indonesia. Jadi, misal orang-orang yang memegang jabatan seperti atau menteri bilang pilih si X, itu akan menjadi seperti perintah bagi bawahannya," katanya.
BACA JUGA: Jokowi Sebut Presiden Boleh dan Memihak di Pilpres
Sementara itu, Sekjen Projo Handoko menilai pernyataan Jokowi soal keberpihakan tidak perlu diributkan. Ia menyebut pasal-pasal dalam UU Pemilu telah membolehkan hal tersebut.
Handoko pun menyatakan bahwa pejabat berbeda dengan ASN yang dituntut netral. Apabila ada pihak yang berkeberatan, Handoko mempersilakan untuk mengubah UU Pemilu.
"Jadi tidak ada yang perlu diributkan dari pernyataan presiden, karena memang undang-undangnya menyatakan begitu. Presiden dan wakil presiden itu punya hak melakukan kampanye,” katanya.
Sebelumnya, pernyataan Jokowi saat acara penyerahan Pesawat C-130J-30 Super Hercules dari Kementerian Pertahanan kepada TNI Angkatan Udara di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024) pagi menuai sorotan.
Ketika dibersamai capres nomor urut 2 sekaligus menteri pertahanan Prabowo Subianto, Jokowi menyebut presiden boleh berkampanye dan berpihak.
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masa gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.
"Itu saja, yang mengatur hanya tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Itu aja," lanjutnya.
#kpc/bin