Oleh: Asep Sunandar #

DUNIA pendidikan Indonesia masih berputar-putar atau berkutat pada permasalahan mendasar yang sudah ditemukan oleh para pakar pendidikan Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru, khususnya Repelita II dan III tahun 1980-an. Pergantian rezim dari mulai Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, hingga kini problem tersebut belum bisa dikatakan terselesaikan dengan baik.

BACA JUGA: Pantas Saja Penduduk Negara Ini Cerdas dan Ceria! Rupanya Ini 9 Rahasia Sistem Pendidikan di Sana!

Apa yang menjadi problem di dunia pendidikan? 

Permasalahan pertama, aksesibilitas, yaitu masih terbatas dan kurang akomodatifnya sekolah terhadap peserta didik, masih banyak anak bangsa yang kesulitan mendapatkan sekolah. Bahkan, program wajib belajar sembilan tahun yang mengharuskan seluruh anak bangsa mengenyam pendidikan dasar belum bisa dikatakan berhasil 100 persen di seluruh daerah. Kendalanya terutama di jenjang SMP adalah lebih banyak siswa lulusan SD dibandingkan dengan kemampuan daya tampung SMP.

Selain masalah kemampuan menampung calon siswa SMP, juga aksesibilitas terkait dengan jarak dan rute tempuh. 

Di sejumlah daerah kita menyaksikan tontonan viral siswa yang berjalan belasan kilometer menuju sekolahnya atau harus melewati jembatan gantung atau harus melewati sungai dengan perahu kecil. Hal tersebut menandakan bahwa aksesibilitas terhadap lembaga pendidikan masih sangat terbatas dan ini menunjukkan kita sedang bermasalah dalam menyiapkan lembaga pendidikan yang sesuai dengan jumlah penduduk usia sekolah pendidikan dasar.

KEPINGIN Gabung Jadi Biro Perwakilan Media Online Sumatrazone di Wilayah Anda? Dapatkan Aneka Fasilitasnya! Hubungi Kami via WA: +6283181675398. SYARAT RINGAN, QUOTA TERBATAS!

Permasalahan kedua, terkait dengan kualitas pembelajaran. Kita dihadapkan kepada suatu tantangan yang sangat besar di mana hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia pada kelompok ranking akhir. Walaupun secara ranking terjadi kenaikan, itu tidak signifikan untuk menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan penilaian asesmen tahun 2018, bahkan pada beberapa hal hasil evaluasi tahun 2023 menunjukkan penurunan. Untuk itu, kita harus berpikir lebih komprehensif dan bekerja secara berkelanjutan agar kualitas pendidikan Indonesia jauh lebih meningkat.

Di bidang pendidikan, kualitas itu dapat dilihat pada komponen seleksi, yaitu proses asesmen calon siswa untuk mengetahui potensi dan tingkat kemampuan awal siswa, sebagai dasar dalam menentukan layanan pendidikan. Komponen kualitas kedua terkait dengan kontrol. Kualitas tidak pernah bisa tercapai karena kontrol sangat lemah atau bahkan terlalu permisif dengan kondisi-kondisi tertentu yang pada akhirnya kita memaklumi ketidakberesan yang terjadi. Kontrol pada lembaga pendidikan dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan dengan peran pengawasan sejawat dan pengawasan melekat.

BACA JUGA: Menuju Negara Maju, Kesehatan dan Pendidikan Kunci Terpenting!

Semua siswa harus naik kelas, kebijakan ini sejatinya menghilangkan proses competitiveness (daya saing) dalam belajar dan juga kontrol kualitas.

Mengapa proses kontrol ini masih lemah? Karena, kita masih banyak mentoleransi dan bahkan berpikiran tidak berat hati untuk memutuskan suatu hasil evaluasi belajar siswa. Sebagai contoh dalam kritikan ini, kebijakan siswa naik kelas pada jenjang pendidikan dasar. Semua siswa harus naik kelas, kebijakan ini sejatinya menghilangkan proses competitiveness (daya saing) dalam belajar dan juga kontrol kualitas. Akibatnya, sebagian siswa berpikiran untuk apa belajar lebih giat dibanding dengan temannya, toh pada akhirnya akan tetap naik kelas juga. Hal ini, menurut saya, kurang positif dalam menumbuhkan jiwa kompetitif dan bermental baja untuk siap memenangkan persaingan.

Jadi sederhananya, untuk mendapatkan kualitas pendidikan terbaik hanya perlu perhatikan dua kata kunci, yaitu lakukan seleksi dengan tujuan untuk pemetaan kemampuan siswa bukan hanya seleksi untuk memilih atau menyaring. Kedua, lakukan kontrol agar proses itu berjalan sesuai dengan rencana dan mengetahui tingkat ketercapaiannya sehingga jika terjadi kekurangan bisa kita segera perbaiki.

Relevansi pendidikan

Permasalahan ketiga disebut dengan relevansi pendidikan. Indonesia masih menghadapi tantangan bahwa apa yang diterima siswa di dunia pendidikan tidak sejalan dengan kebutuhan keahlian pekerjaan sehingga aspek relevansi menjadi problem dan pada akhirnya melahirkan pengangguran terdidik.

Kenapa problem relevansi masih terjadi, tentu sudah banyak dilakukan evaluasi dan program untuk mengatasi problem tersebut. Namun, kondisi ini tetap terjadi di masyarakat terbukti bahwa pengangguran lulusan SMK yang program pendidikannya ditujukan untuk menghasilkan tenaga teknisi masih mendominasi sebagai pengangguran terbanyak lulusan pendidikan, yaitu 9,5 persen.

BACA JUGA: Jumlah Pendidik Terpenuhi, Kualitas Pendidikan Akan Lebih Baik

Gambaran itu menunjukkan bahwa relevansi antara layanan pendidikan atau program kurikulum yang dilaksanakan di sekolah belum sejalan dan tuntutan pekerjaan di dunia pekerjaan. Masalah sederhana ini tinggal diselesaikan melalui program pemerintah terkait dengan pemetaan antara pengembangan dunia kerja dan program kurikulum pendidikan. Pemerintah tetapkan industri apa saja yang akan dikembangkan lalu komunikasikan dengan pendidikan agar kurikulum yang dikembangkan selaras dan sejalan.

Permasalahan keempat masih terkait dengan pemerataan bidang pendidikan, terutama pemerataan berkaitan dengan fasilitas dan kualitas pembelajaran. Masih tampak disparitas yang luas pada infrastruktur dan suprastruktur pembelajaran di berbagai daerah. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya kemampuan pendanaan daerah dan juga akses daerah untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang baik.

Secara sederhana, program ini atau permasalahan ini harusnya bisa diatasi dengan cepat. Pemerataan berhubungan dengan distribusi anggaran, mulai dari dana alokasi umum dan dana alokasi khusus, problem transportasi bukan menjadi alasan karena hal itu sudah bisa diatasi baik dengan transportasi darat maupun udara.

Hal yang paling dibutuhkan dari upaya pemerataan adalah kebijakan pemerintah dalam hal penetapan prioritas anggaran di bidang pendidikan. Anggaran secara nasional pendidikan jangan hanya dialokasikan 20 persen sesuai dengan undang-undang karena pada tataran implementasinya, 20 persen itu berlaku untuk semua kementerian yang menyelenggarakan program pendidikan sehingga anggaran ini menjadi tidak cukup.

Hal lain yang mengakibatkan tidak terpenuhinya aspek pemerataan adalah maraknya korupsi di bidang pembangunan pendidikan, mulai dari kasus korupsi pembangunan sekolah, pengadaan suprastruktur sekolah, dan perubahan kurikulum yang membutuhkan biaya besar. 

Anggaran pendidikan terlalu besar tersedot untuk penyiapan kebijakan, sebagai contoh perubahan kurikulum yang menyedot anggaran triliunan rupiah, padahal lebih bermanfaat membangun sekolah baru atau gedung sekolah baru atau laboratorium sekolah dibandingkan dengan mengubah kurikulum yang mengharuskan adanya berbagai kajian dan sosialisasi.

Daya jelajah lulusan pendidikan Indonesia pada umumnya masih terbatas pada daerah-daerah tertentu.

Permasalahan kelima dalam dunia pendidikan merupakan imbas dari peradaban global yang semakin maju tanpa batas dan juga melahirkan kompetisi tingkat internasional. Lulusan pendidikan Indonesia dihadapkan kepada satu persaingan terbuka, yaitu persaingan global yang harus berkompetisi dengan lulusan dari berbagai negara. Jika berkaca kepada hasil penilaian PISA negara-negara yang tergabung dalam OECD, kita masih tertinggal.

Dalam konteks kompetisi internasional, para pelajar atau lulusan sekolah kita masih dihadapkan kepada kemampuan bahasa Inggris yang rendah, mentalitas untuk bersaing yang rendah, dan juga kemandirian atau keberanian untuk meninggalkan daerah atau negara yang masih rendah. 

Daya jelajah lulusan pendidikan Indonesia pada umumnya masih terbatas pada daerah-daerah tertentu. Masih banyak siswa yang tidak berani berkarya di luar daerah atau bahkan orangtua yang tidak mengizinkan anaknya bekerja di luar daerah hingga pada akhirnya mereka hanya kumpul di daerahnya masing-masing dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas.

#Penulis adalah Guru Besar Bidang Manajemen Satuan Pendidikan Universitas Negeri Malang






 
Top