JAKARTA -- Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terindikasi telah dilakukan sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa.
YLBHI mempunyai beberapa catatan upaya pelemahan dan penghancuran KPK. Misalnya, kriminalisasi para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan puluhan penyidik pada 2015. Kemudian, penyerangan Novel Baswedan dan angket KPK oleh DPR.
BACA JUGA: Cerita Agus Rahardjo Pernah Dimarahi Jokowi Gegara KPK Usut Kasus e- KTP
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur dalam keterangannya di Jakarta, Senin (4/12/2023), menyusul pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku pernah dimarahi lalu diminta Jokowi menghentikan pengusutan kasus mega korupsi pengadaan e-KTP.
“Pengakuan Agus Raharjo ini juga menyingkap upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Sebagaimana diketahui, pelemahan KPK secara konsisten telah dilakukan sejak Jokowi berkuasa,” kata Isnur.
KEPINGIN Gabung Jadi Biro Perwakilan Sumatrazone di Wilayah Anda? Dapatkan Aneka Fasilitasnya! Hubungi Kami via WA: +6283181675398. SYARAT RINGAN, QUOTA TERBATAS!
Upaya pelemahan dan penghancuran KPK yang dilakukan pemerintah era Jokowi, beber Isnur, selanjutnya ketika mengangkat panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK bermasalah, merevisi UU KPK. Lalu, pemberhentian illegal 75 lebih pegawai KPK, hingga Ketua KPK Firli Bahuri yang kini ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Isnur mengutarakan, jika Jokowi benar pernah memerintahkan pimpinan KPK menghentikan kasus korupsi e-KTP, maka telah melakukan tindak pidana serius. Upaya itu untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor).
“Jika ini benar, maka patut diduga kuat bahwa Presiden Jokowi melakukan penghalang-halangan penegakan hukum (obstruction of justice) terhadap kasus tindak pidana korupsi,” ujar Isnur.
Ia mengatakan, Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa obstruction of justice adalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
“Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus E-KTP yang merugikan negara sebanyak Rp2 triliun. Maka, seiring dengan terbukanya kasus ini, KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam Korupsi E-KTP,” ujarnya.
Lebih lanjut, Isnur mengatakan tindakan obstruction of justice adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Terlebih jika hal tersebut dilakukan secara langsung oleh Presiden sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan.
Oleh karenanya, Isnur mendesak agar segera dilakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana obstruction of justice dalam kasus korupsi mega proyek e-KTP yang diduga melibatkan Jokowi.
“Terhadap seluruh rangkaian peristiwa pelemahan dan penghancuran KPK tersebut, maka YLBHI berpendapat perlu dilakukan upaya hukum terhadap Jokowi dan juga pemulihan kembali institusi KPK agar menjadi independen,” tegas Isnur.
Koordinator Staf Presiden Ari Dwipayana sebelumnya membantah, adanya pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Agus Rahardjo untuk membahas kasus e-KTP. Ia mengklaim, pertemuan dan pembahasan itu tidak pernah terjadi.
"Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden," ucap Ari dikonfirmasi, Jumat (1/12/2023).
Ari memastikan, Presiden Jokowi tidak pernah mengintervensi proses hukum. Sebab, pada faktanya Setya Novanto tetap terbukti bersalah dan dihukum penjara dalam kasus tersebut. Setya Novanto saat ini tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," tegas Ari.
Ari pun menyatakan, Presiden Jokowi pernah menyampaikan dukungan terhadap proses hukum Setya Novanto, pada 17 November 2017. Presiden Jokowi dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus e-KTP.
BACA JUGA: Membidik Potensi Caleg Muda di Pileg 2024
"Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik," ungkap Ari mengungkit pernyataan Presiden Jokowi saat itu.
Ia juga membantah Presiden Jokowi menjadi pihak yang berinisiatif melakukan revisi UU KPK. Menurutnya, revisi UU KPK merupakan inisiatif dari DPR, bukan pemerintah.
"Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," cetus Ari.
Untuk diketahui, pernyataan Agus Rahardjo menjadi sorotan, usai mengungkap bahwa dirinya pernah dipanggil Presiden Jokowi untuk membicarakan kasus e-KTP. Bahkan, Agus mengaku Presiden Jokowi memintanya untuk menghentikan penanhanan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto.
"Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” ungkap Agus.
"Saya bersaksi dan itu memang terjadi yang sesungguhnya, saya awalnya tidak cerita kepada komisioner lain tapi setelah berlama-lama saya cerita,” imbuhnya.
#jpc/bin