JAKARTA -- Ternyata dokumen perbaikan gugatan soal usia capres-cawapres yang dilayangkan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru tak ditandatangani kuasa hukum maupun Almas sendiri.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dengan agenda pemeriksaan pelapor, berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memuat konflik kepentingan, Kamis (2/11/2023).

#KEPINGIN Order Lipsus, Tayang Pers Relis/Testimoni/Advertorial di Sumatrazone? Hubungi Kami via WA +6283181675398 

Diketahui, Almas Tsaqibbirru Re A, sosok berkacamata pada foto di atas adalah mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa) yang gugatan batas usia Capres-Cawapres dikabulkan MK.

Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), mengungkapkan bahwa dokumen yang didapatkan PBHI langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan di dalam persidangan tersebut tidak ditandatangani pemohon.

“Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya,” ungkap Ketua PBHI, Julius Ibrani, yang terhubung secara daring pada Kamis (2/11/2023).

Ia menambahkan, selama ini MK telah menjadi pionir sekaligus teladan dalam pemeriksaan persidangan yang begitu disiplin, termasuk dalam hal tertib administratif.

“Kami mendapatkan satu catatan, dokumen ini tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ucapnya.

Pada Selasa (31/11/2023), MKMK sudah memeriksa para hakim MK mulai dari Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih. Lalu, Saldi Isra, Suhartoyo dan Manahan Sitompul.

Pasca pemeriksaan tersebut, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengakui sudah mendapatkan titik terang.

“Kami sebenarnya sudah lengkap, bukti-bukti sudah lengkap, cuma kan kita tidak bisa menghindar dari memeriksa, mengadakan sidang?,” ujar Jimly usai sidang pemeriksaan.

#KEPINGIN Gabung Jadi Biro Iklan Sumatrazone? Buruan Klik, Hubungi Kami via WA: +6283181675398

Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.

Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).

Anwar Usman membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.

Hingga kini, MK telah menerima secara resmi 20 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Aduan tersebut bervariasi, mulai dari melaporkan Ketua MK Anwar Usman selaku paman Gibran, ada yang memintanya mengundurkan diri, ada yang melaporkan seluruh hakim konstitusi, ada yang melaporkan hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), dan aduan yang mendesak agar segera dibentuk MKMK.

MKMK menyatakan bakal membacakan putusan paling lambat pada 7 November 2023, sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI. 

#kpc/bin






 
Top