Oleh: Antonina Pantja Juni Wulandari
Dosen Psikologi, Lecture Specialist S2 Binus University
ISTILAH resiliensi dikenalkan pertama kali pada 1950-an oleh Blok dengan nama ego-resiliency (ER), yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.
Awalnya konsep itu diterapkan pada anak-anak dimana ia dikenal sebagai “invulnerability” atau “stress-resistance“. ER dan resiliensi keduanya diperlakukan sebagai faktor protektif melawan kesulitan, keduanya berbeda dalam banyak hal (Farkas & Orosz, 2015).
Resiliensi mengandaikan paparan kesulitan substansial dan ditafsirkan sebagai proses dinamis dari sifat kepribadian.
ER dapat dipahami dalam teori kepribadian dan dikombinasikan dengan ego-control (EC). Kepribadian dikonseptualisasikan sebagai sistem pemrosesan yang mempengaruhi ego-resiliency (ER) digabungkan dengan ego-control (EC).
BACA JUGA: Info Lowongan Kerja Terbaru Sumatrazone
Terminologi resiliensi dalam perjalanannya mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Garmezy (1991) tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan, disebut sebagai descriptive labels yaitu menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.
Menurut Ledesma (2014), beberapa penelitian tentang resiliensi menggunakan istilah yang berbeda tapi pada dasarnya menggambarkan mekanisme yang sama untuk adaptasi terhadap stres yaitu:
Compensatory
Melihat resiliensi sebagai faktor yang menetralkan resiko, faktor resiko dan faktor pengganti yang secara independen berkontribusi pada outcome.
Challenge
Menggunakan faktor resiko sebagai tantangan, contohnya individu yang resilien adalah mampu memecahkan masalah, kecenderungan untuk memahami pengalaman sebagai suatu yang positif bahkan ketika mereka menderita, kemampuan untuk positif pada orang lain, dan keyakinan untuk mempertahankan pandangan hidup yang positif.
Protective factor
Menggunakan faktor resiko untuk beradaptasi contohnya individu yang resilien adalah yang optimis, memiliki empati, insight, intellectual competence, self-esteem, serta punya tujuan, tekad dan ketekunan.
Keberhasilan seseorang dalam beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan / buruk (Garmezy, 1991).
Kapasitas universal dari individu atau kelompok untuk mencegah, meminimalisasi, atau bahkan mengatasi efek yang merusak (Grotberg, 2001).
Kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan (Reivich dan Shatte, 2002).
BACA JUGA: Asyiknya Menjual Iklan Media Online Sumatrazone
Sebuah pola adaptasi yang bersifat positif dalam menghadapi kesulitan (Riley dan Masten, 2005).
Kemampuan untuk mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi stres (Keye & Pidgeon, 2013).
Kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan, frustrasi, dan kemalangan (Ledesma, 2014).
Hasil dari adaptasi yang sukses meskipun terdapat situasi yang menantang atau mengancam (Wright & Masten, 2015).
Sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, terutama melalui mental, emosional dan perilaku yang fleksibilitas, baik penyesuaian eksternal dan internal (APA Dictionary of Psychology, VandenBos, 2015: hal. 910).
Faktor-faktor yang Dapat Meningkatkan Resiliensi
Menurut Benard (2004), meningkatkan resiliensi adalah hal yang penting karena dapat memberikan pengalaman bagi individu dalam menghadapi permasalahan dan kesulitan di dalam hidupnya.
Ada tiga hal yang dapat diberikan lingkungan untuk meningkatkan resiliensi seseorang.
1. Caring relationship
Adalah dukungan cinta yang didasari oleh kepercayaan dan cinta tanpa syarat. Caring relationship dikarakteristikkan sebagai dasar penghargaan yang positif. Contohnya seperti memegang pundak, tersenyum dan memberi salam.
2. High expectation massages
Merupakan harapan yang jelas, positif dan terpusat kepada seseorang. Harapan yang jelas merupakan petunjuk dan berfungsi mengatur dimana orang dewasa memberikan harapan tersebut untuk perkembangan seseorang.
Harapan yang positif dan terpusat mengomunikasikan kepercayaan yang mendalam dari orang dewasa dalam membangun resiliensi dan membangun kepercayaan dan memberikan tantangan untuk membuat seseorang menjadi apa yang mereka inginkan.
3. Opportunities for participation and contribution
Kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk menjadi pemimpin.
Di samping itu opportunities juga memberikan kesempatan untuk melatih kemampuan problem solving dan pengambilan keputusan.
Faktor-Faktor Pembentuk Resiliensi
Menurut Davis (1999), faktor-faktor pembentuk resiliensi adalah:
Faktor resiko: mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk atau menyebabkan individu beresiko untuk mengalami gangguan perkembangan atau gangguan psikologis.
Faktor pelindung: merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Ada tiga faktor pelindung yang berhubungan dengan resiliensi pada individu, yaitu:
Faktor individual: merupakan faktor-faktor yang bersumber dari dalam individu itu sendiri, yaitu , sociable, self confident, self-efficacy, harga diri yang tinggi, memiliki talent (bakat).
Faktor keluarga: keluarga yang berhubungan dengan resilensi, yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan, memiliki hubungan harmonis dengan anggota keluarga lain.
Faktor masyarakat sekitar: memberikan pengaruh terhadap resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal.
Aspek-aspek yang membentuk resiliensi
Wolin dan Wolin (1993) mengemukakan tujuh aspek utama yang mendukung individu untuk resiliensi, yaitu:
1) Insight: yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih tepat.
2) Independence: yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang bermasalah).
3) Relationships: Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model yang baik.
4) Initiative: yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya.
5) Creativity: yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup.
7) Humor: adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.
8). Morality: adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan.
Ciri-ciri Individu yang Memiliki Resililiensi
Individu yang memiliki resiliensi yang tinggi akan cenderung easygoing, mudah bersosialisasi, memiliki keterampilan berpikir yang baik termasuk keterampilan sosial dan kemampuan menilai sesuatu, memiliki orang di sekitar yang mendukung, memiliki satu atau lebih bakat, yakin pada diri sendiri dan percaya pada kemampuannya dalam mengambil keputusan serta memiliki spritualitas dan religiusitas. Kebajikan (virtue) dan kekuatan (strength) sebagai dasar untuk memiliki resiliensi (Chung, 2008).
Menurut Baumgadner (2010) individu yang resiliensinya tinggi akan menampilkan kemampuan dalam dirinya yang meliputi:
- Intelektual yang baik dan kemampuan memecahkan masalah
- Mempunyai temperamen yang easy-going dan kepribadian yang dapat beradaptasi terhadap perubahan
- Mempunyai self image yang positif dan menjadi pribadi yang efektif
- Optimis
- Mempunyai nilai pribadi dan nilai budaya yang baik
- Mempunyai selera humor
###
Referensi
Baumgadner, S.R & Crother, M.K. (2010). Positive Psychology. London: Pearson
Bernard, B. (2004). Resiliency: What We Have Learned. San Francisco, CA: WestEd Regional Educational Laboratory
Chung, H. F. (2008). Resiliency and character strengths among college students.ProQuest. (Unpublished doctoral dissertation). The University of Arizona, Tucson.
Davis, N.J. (1999). Resilience: Status of research and research-based programs. Working paper, Center for Mental Health Services, Substance Abuse and Mental Health Services Administration, U.S. Department of Health and Human Services; Rockville
Farkas, D., & Orosz, G. (2015). Ego-resiliency reloaded: A three-component model of general resiliency. PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0120883
Garmezy, N. (1991). Resiliency and Vulnerability to Adverse Developmental Outcomes Associated with Poverty. American Behavioral Scientist. https://doi.org/10.1177/0002764291034004003
Grotberg, E. H. (2001). Resilience programs for children in disaster. Ambulatory Child Health. https://doi.org/10.1046/j.1467-0658.2001.00114.x
Keye, M. D., & Pidgeon, A. M. (2013). Investigation of the Relationship between Resilience, Mindfulness, and Academic Self-Efficacy. Open Journal of Social Sciences. https://doi.org/10.4236/jss.2013.16001
Ledesma, J. (2014). Conceptual frameworks and research models on resilience in leadership. SAGE Open. https://doi.org/10.1177/2158244014545464
Reivich, K. & Shatte, A. (2002). Theresiliencefactor: 7 essential skillsfor overcoming life’s inevitable obstacles. Newyork: BroadwayBook
Riley, J. R., & Masten, A. S. (2005). Resilience in context: Linking context to practice and policy. Editor Peters, R. D, Leadbeater, B & McMahon R. J. Resilience in children, families, and communities: Linking context to practice and policy (hal. 13-25). New York, NY: Kluwer Academic/Plenum.
VandenBos (2015). APA dictionary of psychology, second edition, USA: American Psychological Assosiation
Wolin, S. J., & Wolin, S. (1993). The Resilient Self How Survivors of Troubled Families Arise above Adversity. New York Villard Books.
Wright, M. O., Masten, A. S., & Narayan, A. J. (2012). Resilience Processes in Development: Four Waves of Research on Positive Adaptation in the Context of Adversity. Handbook of Resilience in Children, 15–37. doi:10.1007/978-1-4614-3661-4_2