JAKARTA -- Kejaksaan Agung menyelidiki aliran uang dalam dugaan korupsi proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1-5 Bakti di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Penyelidikan itu didasarkan pada isi berita acara pemeriksaan (BAP) salah seorang dari enam terdakwa yang tengah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bernama Irwan Hermawan.
Irwan yang menjabat sebagai Komisaris PT Solitech Media Sinergy, perusahaan yang mendapat tender proyek BTS, sempat mengakui adanya pemberian uang sebesar Rp 27 miliar kepada seseorang yang disebutnya sebagai "pihak Z".
Uang diberikan ketika perkara itu tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung serta dirinya belum menjadi tersangka.
Periksa Dito Ariotedjo
Setelah isu itu mencuat, Kejaksaan Agung memeriksa Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Dito Ariotedjo, Senin (3/7/2023) siang.
Menteri termuda di kabinet pemerintahan Joko Widodo tersebut, dalam BAP Irwan, mendapatkan aliran uang dengan total Rp 27 miliar pada periode waktu November-Desember 2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung I Ketut Sumedana membenarkan bahwa pemeriksaan Dito didasarkan pada BAP Irwan.
Tetapi usai beberapa jam diperiksa, Kejaksaan Agung menyatakan, aliran dana kepada Dito tidak ada kaitannya dengan korupsi proyek BTS 4G.
Ada pengembalian uang
Sementara itu, sehari usai Dito Ariotedjo diperiksa, Kuasa Hukum Irwan Hermawan, Maqdir Ismail mengungkapkan, ada pihak yang mengembalikan uang sebesar Rp 27 miliar ke kantornya, Selasa (4/7/2023) pagi.
"Sudah ada yang menyerahkan kepada kami, uang cash, mata uang asing, dollar Amerika Serikat," kata Maqdir saat ditemui usai sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa sore.
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang mengembalikan uang tersebut.
Maqdir menjelaskan, sejak awal proses penyelidikan yang dilakukan Kejagung, memang ada pihak yang mengaku dekat dengan seorang menteri dan aparat penegak hukum. Pihak itu mengaku bisa membantu agar perkara yang ditangani tidak meluas.
Namun, Maqdir tak mengungkap secara lugas siapa pihak yang dimaksud, termasuk, menteri siapa yang dimaksud.
"Tahap awal adalah sesudah project mulai jalan ada sejumlah uang yang diterima kemudian oleh Irwan itu diserahkan kepada beberapa orang termasuk staf Pak Menteri," kata Maqdir.
Selain itu, Maqdir menjelaskan bahwa pada saat proses penyidikan, pihak-pihak yang sebelumnya meminta uang itu sempat menjanjikan bahwa perkara ini tidak akan dilanjutkan Kejagung.
"Kalau saya tidak keliru sejak November atau Oktober 2022 orang-orang ini meminta sejumlah uang untuk mengurus proses perkara sehingga tidak akan dilanjutkan menjadi perkara,” ujarnya.
Oleh karena itu, Maqdir pun meminta agar persoalan terkait adanya dugaan peredaran uang dalam proses penanganan perkara ini dapat diusut Kejagung.
Atas pengembalian uang Rp 27 miliar tersebut, pihak Maqdir Ismail bakal menyerahkan kepada Kejaksaan Agung.
"Saya kira serahkan ke pihak Kejaksaan sajalah. Tetapi bahwa ini sudah terbuka, paling tidak dalam pemberitaan ada uang gelap yang beredar dan uang gelap ini berhubungan dengan proses di Kejaksaan Agung. Saya kira itu jadi tanggung jawab moral mereka untuk membuka," imbuh Maqdir.
Kejagung panggil Maqdir
Terkait pernyataan tersebut, Kejagung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) melayangkan surat panggilan terhadap Maqdir Ismail untuk diklarifikasi, Senin (10/7/2023) mendatang.
I Ketut Sumedana mengatakan, Maqdir Ismail akan diklarifikasi terkait adanya informasi soal pengembalian uang senilai Rp 27 miliar.
"Maka dari itu, tim penyidik Kejaksaan Agung akan melakukan pemanggilan terhadap Maqdir Ismail untuk menjelaskan terkait dengan pernyataan yang bersangkutan," kata Ketut dalam keterangannya, Jumat (7/7/2023) pagi.
Dalam pemeriksaan itu, penyidik juga akan meminta Maqdir untuk membawa uang senilai Rp 27 miliar yang disebut dikembalikan.
"Untuk membuat terang perkara yang saat ini sedang dalam proses penyidikan dan bergulir di persidangan terkait dengan aliran dana," imbuhnya.
Bakal hadir Kamis
Dihubungi terpisah, Maqdir Ismail menyatakan, bakal menyurati Kejaksaan Agung untuk menunda agenda klarifikasi pada Kamis (13/7/2023).
Sebab, pada hari di mana Kejagung memanggilnya, sudah ada agenda lain. Maqdir menghadiri sidang pembacaan putusan praperadilan Sekretaris Mahkamah Agung (Sekma) Hasbi Hasan di di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebagai informasi, Maqdir Ismail merupakan pengacara Hasbi Hasan dalam gugatan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penetapan tersangka kasus penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
"Betul, saya akan kirim surat minta penundaan," kata Maqdir Ismail, Jumat (7/7/2023).
Maqdir pun menyatakan bahwa dirinya bakal membawa uang Rp 27 miliar ke Kejaksaan Agung pada Kamis nanti.
"Insya Allah, Kamis bisa bawa uang (Rp 27 miliar) tersebut," imbuhnya.
Didakwa rugikan negara dan cuci uang
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Irwan Hermawan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,032 triliun. Secara pribadi, PT Solitech Media Sinergy diduga menerima uang senilai Rp 119.000.000.000.
Jaksa menyebutkan, tindakan Irwan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 8.032 triliun itu dilakukan bersama dengan Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia Galumbang Menak Simanjuntak dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment Mukti Ali.
Kemudian, mantan Menteri Komunikasi dan Informatikan (Menkominfo) Johnny G Plate; Direktur Utama Bakti Kominfo Anang Achmad Latif; dan Tenaga Ahli Human Development (Hudev) Universitas Indonesia Tahun 2020, Yohan Suryanto.
Atas perbuatannya, para terdakwa disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain Irwan Hermawan, Galumbang dan Anang juga didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
#kpc/bin