# Ahniyus Ahmad

AQIDAH merupakan akar keyakinan. Kebenaran aqidah hanya terdapat di dalam diri seorang hamba yang meyakini bahwa ALLAH itu Esa.

ALLAH adalah asal kejadian dan tempat bergantung segala sesuatu.

ALLAH adalah sang Pencipta dan selain dari pada NYA adalah makhluk ciptaan, oleh karenanya tidak ada seorangpun yang menyerupai NYA.

Aqidah yang benar haruslah bersandar pada keyakinan bahwa ALLAH itu Esa, karena eksistensi setiap dzat, mustahil berjalan dengan wajar kalau pengendalinya secara internal lebih dari satu, karena setiap pengendali memiliki maunya sendiri.

Dengan ber-tauhid seorang hamba akan mengenal diri sehingga dia mengenal siapa sang PENCIPTA diri.

Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari ALLAH dan akan kembali kepada NYA.

Dengan keyakinan seperti ini seorang hamba akan memperhitungkan setiap tindakannya, atau dengan kata lain dia akan berperilaku sesuai dengan petunjuk dan ajaran agama yang diyakininya, karena dia sadar bahwa setiap perilakunya sekecil apapun tidak akan luput dari pertanggungjawaban dan pasti akan diperhitungkan di Hari Pembalasan, yang mana pada hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang.

Orang-orang yang ber-Tauhid menyadari dengan sepenuh hati bahwa setiap diri adalah pemimpin, dan setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawabannya. Semakin besar wilayah kepemimpinan, semakin besar pula beban amanah yang akan dipertanggungjawabkan.

Begitu krusialnya kedudukan aqidah di dalam berkeyakinan, sehingga aqidah itu diibaratkan akar bagi sebatang pohon. Jika akar itu mati maka mati jugalah agama di dalam diri seseorang.

Tauhid adalah ruh dari aqidah. Orang yang kokoh aqidah-nya adalah orang yang mantap tauhid-nya.

Seorang hamba yang ber-tauhid adalah seorang pribadi yang yakin bahwa hanya ALLAH Yang Maha Besar dan tidak ada Tuhan yang pantas disembah dan dipatuhi kecuali ALLAH, sehingga ketika dia dihadapkan pada godaan atau cobaan dalam keadaan yang memaksanya untuk melanggar aturan ALLAH, maka dia mengabaikannya karena dia hanya tunduk kepada ALLAH semata.

Benar atau tidaknya aqidah seseorang tidak selamanya hanya terjadi pada pemeluk agama yang dari sananya memang sudah meyakini bahwa Tuhan bagi mereka lebih dari satu. Bahkan seorang muslim-pun tidak sedikit yang bermasalah aqidah-nya karena tidak mantapnya tauhid di dalam dirinya.

Seseorang yang mengaku muslim tapi masih tunduk kepada hawa nafsu sehingga dia mengabaikan keimanannya saat berhadapan dengan cobaan atau godaan, maka dia tidak lagi dapat disebut sebagai orang yang ber-tauhid, karena pada saat itu dia telah menghadirkan Tuhan lain selain ALLAH di dalam dirinya, karena ketundukannya kepada hal-hal yang di larang oleh ALLAH. Maka manusia yang seperti inilah yang disebut sebagai orang munafik.

Jadi kalau hari ini kita melihat orang-orang memperebutkan jabatan dan kekuasaan, lalu menghalalkan segala cara, maka sudah dapat disimpulkan bahwa orang-orang itu adalah sekumpulan orang-orang yang ber-Aqidah tidak benar.

Orang-orang ini tidak memahami apa arti amanah yang sesungguhnya, di dalam fikiran mereka. Jabatan atau kekuasaan itu adalah sebuah peluang atau kesempatan yang tidak boleh dilewatkan untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi ataupun kelompok, sehingga tidak tertanam semangat pengabdian di dalam diri orang seperti ini untuk mengupayakan dengan sunguh-sungguh kemaslahatan hidup bagi orang banyak sebagaimana tujuan dari diberikannya amanah kepemimpinan.

Dengan berbekal Aqidah yang benar inilah kemudian ALLAH menciptakan manusia dan memberitahukannya kepada Malaikat pada suatu kesempatan bahwa ALLAH berkata; "AKU akan menciptakan manusia sebagai Khalifah di muka bumi".

Inilah tujuan penciptaan manusia oleh ALLAH disamping tujuan utamanya ; " Tidak AKU ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada KU". 

Jadi ini adalah dua bentuk tujuan penciptaan yang diibaratkan seperti dua mata sisi uang yang saling melengkapi, dimana pengabdian kepada ALLAH merupakan tuntunan hidup sesuai syari'at berupa "Ibadah Ritual" yang tergolong "Habblumminallah", sedangan menjalankan fungsi "Kekhalifahan" untuk mengurus bumi ALLAH adalah dalam rangka menjalin "Habblumminannas".

Begitulah ALLAH sebagai sebaik-baik pencipta yang menciptakan bumi sebagai tempat manusia di uji sebelum pulang ke-hadirat NYA, lalu ALLAH menyempurnakan penciptaan NYA itu dengan menentukan siapa yang akan ditugaskan untuk mengurusi bumi untuk dikelola berdasar tuntunan NYA agar tidak menimbulkan kerusakan di atasnya.

Dengan demikian manusia akan memanfaatkan keberadaannya di atas bumi atau dunia ini sebagai tempat mengumpulkan bekal dalam bentuk amal shaleh sebelum pulang menuju akhirat sebagai kampung asal.

Kesimpulannya; selama bumi ini dikelola dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH sebagaimana tujuan NYA menciptakan manusia sebagai "Khalifah" di muka bumi, maka kerusakan demi kerusakan akan melanda kehidupan seperti sekarang yang sedang terjadi di akhir zaman.

Sebuah renungan buat diri dan siapa saja yang ter-inspirasi.

#Penulis adalah pemerhati sosial dan politik, pernah aktif di sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan, berdomisili di Padang, Sumatera Barat





 
Top