JAKARTA -- Akhir September lalu, dunia peradilan dikejutkan dengan adanya penetapan seorang Hakim Agung Kamar Perdata pada Mahkamah Agung (MA), Sudrajad Dimyati sebagai tersangka dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perkara kasus suap yang melibatkan hakim MA itu bermula ketika KPK melakukan tangkap tangan terhadap hakim yustisial MA, Elly Tri Pangestu beserta aparatur sipil negara (ASN) di MA, pengacara, dan pihak Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Mereka diduga melakukan suap terkait pengurusan perkara kasasi Intidana di MA. Setelah dilakukan gelar perkara, KPK kemudian mengumumkan 10 orang tersangka dalam perkara ini.
Mereka adalah hakim agung Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangesti, PNS kepaniteraan MA, Desy Yustria dan Muhajir Habibie, serta PNS MA Albasri dan Nuryanto Akmal. Keenamnya ditetapkan sebagai penerima suap.
Sementara itu, tersangka pemberi suapnya adalah Yosep Parera dan Eko Suparno selaku advokat, serta Heryanto dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
Tidak terjaring operasi tangkap tangan, Sudrajad Dimyati kemudian mendatangi gedung Merah Putih KPK pada hari berikutnya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia langsung ditahan.
Tak berhenti sampai di situ, selang dua bulan kemudian, KPK kembali mengumumkan adanya tersangka baru terkait penanganan perkara tersebut. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengumumkan tersangka kasus tersebut salah satunya merupakan Hakim Agung.
Kendati begitu, Komisi Antirasuah itu belum mengumumkan secara resmi siapa nama Hakim dan dugaan keterlibatannya.
"Memang secara resmi kami belum mengumumkan siapa saja yang telah ditetapkan sebagai tersangka baru dalam proses penyidikan, tapi satu di antaranya kami mengonfirmasi betul hakim agung di Mahkamah Agung," kata Ali sebagaimana disiarkan Breaking News Kompas TV, Kamis (11/11/2022).
Ali juga mengungkapkan, Hakim Agung yang ditetapkan sebagai tersangka pernah menjalani pemeriksaan di KPK.
Berdasarkan catatan Kompas.com, di antara belasan saksi yang telah dipanggil, mulai dari staf hingga Sekretaris MA Hasbi Hasan, satu-satunya Hakim Agung yang dipanggil adalah Gazalba Saleh yang dipanggil pada 27 Oktober.
Pemerintah dinilai terlalu sibuk urus ekonomi dan politik
Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun berpendapat, presiden Joko Widodo terlalu sibuk mengurusi persoalan politik dan ekonomi dibanding dengan pembenahan hukum dan penegakan hukum.
Hal itu disampaikan Gayus menyoroti adanya Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
"Pemerintah terlampau sibuk dengan urusan politik dan ekonomi, meninggalkan perhatiannya ke bidang penegakan hukum. Kenapa saya mengatakan ini? Karena sudah banyak saya cuatkan kekesalan kepada perhatian presiden terhadap hukum dan penegakan hukum," ujar Gayus kepada Kompas.com, Minggu (13/11/2022).
Evaluasi pimpinan Pengadilan
Gayus pun meminta seluruh ketua dan wakil ketua Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan 10 pimpinan hakim di MA dilakukan evaluasi secara bersama-sama.
"Saya kembali mengetuk hati presiden, evaluasi (pimpinan hakim). Konsepnya sudah saya tawarkan yaitu tiap-tiap pengadilan di seluruh Indonesia itu ketua dan wakil ketuanya saja yang dievaluasi, PN, PT dan Mahkamah Agung itu 10 orang," kata Gayus.
Gayus mengaku telah mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi peradilan khususnya di Mahkamah Agung dalam sebuah forum di televisi bahkan sejak tahun 2015.
Hal itu pun disetujui oleh Mahfud Md yang kala itu belum menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan.
"Ketika itu, ada pak Mahfud yang setuju dengan pendapat saya menyikapi keadaan karut marut ketika itu. Bahkan kata pak Mahfud di Georgia itu hakim diganti semua, itu evaluasi menurut Pak Mahfud, 'saya setuju Prof Gayus', ada rekaman saya," ucapnya.
Gayus menuturkan, kala ia masih aktif di Mahkamah Agung dan menjadi anggota Majelis Kehormatan Hakim (MKH) pada Mahkamah Agung, tidak sedikit oknum hakim yang dipecat.
Saat itu, kata dia, kondisi MA sudah memprihatinkan dan butuh pembenahan secara struktural kehakiman. Namun, hingga kini, pembenahan itu tidak juga dilakukan oleh otoritas tertinggi yakni Presiden.
"Sudah banyak berkecamuk hakim-hakim ditangkepin, saya pribadi sebagai majelis kehormatan hakim MA memeriksa perkara hakim yang melanggar bersama Komisi Yudisial itu sekitar 10 saya berhentikan, dipecat, 10-an kira-kira, tahun itu lho, artinya demikian gawatnya dunia peradilan," jelas Gayus.
Oleh sebab itu, eks hakim agung perkara militer itu meminta presiden untuk melakukan evaluasi seluruh pucuk pimpinan yang ada di lembaga peradilan di Indonesia.
"Pimpinannya saja, seluruhnya ada 9.000 (hakim) kita, enggak mungkin, pimpinannya itu 800-an orang, itu dievaluasi termasuk MA 10 orang ini pimpinan yang ternyata di dalamnya 2 hakim agung kena (terlibat dugaan korupsi)," ujar Gayus.
"Kapan kita menunggu lagi? ini pertanyaan saya, kalau presiden tidak campur tangan sampai kapankah ini dibiarkan terus? publik semakin terasa dengan transaksional di pengadilan, mau dibiarkan?" ucapnya.
Wapres minta MA direformasi
Sementara itu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga meminta Mahkamah Agung untuk membuat mekanisme khusus guna mencegah potensi penyelewengan oleh para hakim agung.
Menurut Ma'ruf reformasi di tubuh MA diperlukan untuk menjegah terjadinya kembali penyimpangan dalam organisasi peradilan tertinggi itu.
"Karena itu untuk mencegah, mungkin perlu ada mekanisme di dalam MA sendiri yang sifatnya merupakan bagian reformasi birokrasi di lingkungan untuk supaya tidak terjadi," kata Ma'ruf di Masjid At-Taqwa, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Jumat (11/11/2022).
Menurut Ma'ruf, mekanisme pencegahan korupsi di internal MA diperlukan agar tidak ada lagi hakim agung yang terjerat perkara korupsi di KPK.
Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berpandanganan, skema pencegahan korupsi tersebut haruslah dibentuk oleh MA secara internal di kelembagaannya.
"Sehingga tidak ada lagi yang istilahnya ditangkap oleh KPK, mungkin itu yang penting jadi pencegahan dari dalam internal MA itu menjadi lebih penting," ujar Ma'ruf.
#l6c/nov