Oleh: Fauziyatus Syarifah#
ADALAH benar bahwa saat ini ada indikasi bahwa akhlak mulia sudah mulai langka. Atau paling tidak, saat ini telah terjadi dekadensi moral bangsa.
Apalagi, tidak hanya di ranah elite negeri ini yang ‘gemar’ korupsi, hal serupa dengan beragam trik dan modus juga berlangsung hampir di seluruh pelosok tanah air, ditambah fenomena segelintir masyarakat berkelakuan aneh dan tak lazim.
Belakangan, fenomena tak lazim justru mengemuka dari daerah yang masyarakatnya terkenal berkepribadian istimewa. Kental adat istiadat dan kukuh menjaga sendi-sendi keIslaman. Provinsi Sumatra Barat yang dahulunya bernama Minangkabau, belakangan segelintir masyarakatnya tak luput dari virus dekadensi moral.
Masih terngiang di ingatan kita, baru-baru aksi sejumlah wanita joged-joged di sebuah masjid di Sumatera Barat (Sumbar) menjadi viral di media sosial. Fenomena ini menjadi indikasi bahwa filosofi luhur masyarakat setempat, yaitu "Adaik Basansi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" mulai tergerus.
Otoritas keagamaan setempat, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, dalam hal ini diwakili oleh Prof. Duski Samad menegaskan bahwa video yang berdurasi 9 detik itu sebagai indikasi kuat telah terjadi dekadensi moral yang luar biasa.
Bagaimana tidak, masjid yang notabene tempat suci dan bermartabat, dijadikan tempat untuk melancarkan aksi tak bijak. Belakangan diketahui bahwa motif sejumlah wanita yang berjoged-joged karena hendak membuat video konten. Kemudian ia akan diunggah di aplikasi video yang sedang menjadi tren di masyarakat.
Sebenarnya, aksi-aksi yang menunjukkan kealpaan akhlak mulia sudah menjamur di masyarakat. Terlebih di dunia maya; kita bisa dengan mudah—bahkan dengan tidak sengaja sekalipun—menemukan aksi-aksi asusila dengan berbagai bentuk. Mulai yang sekedar joged-joged menampilkan lekuk tubuh hingga yang vulgar seperti ‘hubungan badan’ secara live.
Membentuk Akhlak
Berkaitan dengan revolusi akhlak itu, sebagian kalangan bertanya, apa benar akhlak yang diajarkan oleh agama dan menjadi ‘harga diri’ bangsa ini sudah tak lagi terlihat dalam kehidupan berbangsa? Lantas, apakah sebenarnya akhlak mulia bisa dibentuk atau tidak?
Sebelum itu, penulis hendak menegaskan arti atau pengertian akhlak mulia. Dalam buku "Yang Hilang dari Kita, Akhlak", bahwa akhlak atau moral adalah kecenderungan pada kebaikan, kebenaran dan keindahan serta keteraturan.
Lebih lanjut, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa akhlak adalah sifat dasar yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan terlaksana tanpa ada keterpaksaan. Dari sini, para ulama kemudian memberikan definisi singkat, akhlak adalah tabiat baik. Dalam bahasa lainnya, nilai dan pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap (Anis Matta, 1995: 209).
Berdasarkan pengertian di atas, sesungguhnya membentuk akhlak karimah tidaklah sulit. Karena akhlak baik merupakan sifat dasar dan kecenderungan (fitrah) manusia itu sendiri. Meskipun demikian, fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena akan bergantung pada pengaruh dari luar, seperti pendidikan dan lingkungan (Yanuhar Ilyas, 2004: 4).
Pembentukan akhlak berdasarkan pada sebuah asumsi bahwa akhlak merupakan hasil usaha pendidikan, latihan, usaha, pembiasaan dan pembinaan secara intens, bukan terjadi dengan sendirinya (Nata, 2002; M. Rifa’i, 1993: 574).
Sementara menurut sebagian kelompok lain, berpendapat bahwa akhlak (mulia) tidak perlu dibentuk atau diusahakan karena ia termasuk insting yang dibawa manusia sejak lahir (Deswita, 210: 92).
Ibnu Sina dan Al-Ghazali termasuk kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha. Dalam Ihya Ulum al-Din, Al-Ghazali menegaskan bahwa, “Seandainya akhlak itu tidak bisa menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan serta tidak ada pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian.”
Sebelum jauh kita melakukan revolusi akhlak, dalam perspektif kelompok meyakini bahwa pembentukan akhlak itu bisa diusahakan melalui pendidikan dan pembinaan, maka setidaknya ada tiga cara membentuk akhlak mulia.
Pertama, melalui pendidikan.
Sahulun A. Nashir (1999, 11) menjelaskan bahwa pendidikan, terutama pendidikan agama, merupakan faktor dominan dalam membentuk akhlak seseorang. Hal ini disebabkan karena banyak alasan, di antaranya dalam pendidikan terdapat materi yang bisa mengantarkan siswa memiliki pemahaman yang mendalam, diyakini kebenarannnya dan diamalkan menjadi pedoman hidupnya serta menjadi pengontrol terhadap segala tindak tanduknya.
Meskipun sekolah memiliki peran signifikan, namun orang tua juga dituntut untuk memberikan pendidikan akhlak juga. Sebab, setelah anak pulang dari sekolah, pendidikan dikembalikan ke orang tua masing-masing.
Pada titik inilah, lingkungan sangat mempengaruhi akhlak seseorang. Jika anak berproses dengan lingkungan yang salah, maka besar kemungkinan anak tersebut tidak akan mampu menaham derasnya pengaruh lingkungan yang ia anut (Lilik Ummi Kaltsum, 2017: 99).
Dalam kondisi seperti ini, ada dua hal yang bisa dilakukan oleh orang tua. (1) Membina dan mendidik anaknya secara langsung. Dan (2) menaruh anaknya ke lingkungan yang tepat. Di sini peran orang tua, lembaga pendidikan dan agama sangat sentral dalam membentuk akhlak seseorang.
Kedua, pembentukan akhlak berada di ranah eksternal.
Juhaya S Praja menyebutkan bahwa akhlak manusia dibentuk oleh beberapa landasan normatif. Seperti tradisional normatif (kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-menurun dalam masyarakat). Lalu landasan yuridis (yang berasal dari peraturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan bernegara). Dan landasan teologis (akhlak yang dibentuk oleh pandangan tentang adanya tuntunan yang berasal dari Tuhan, baik sebagai ajaran agama maupun pemahaman filosofis). Inilah yang kemudian disebut sebagai faktor eksternal pembentukan akhlak mulia.
Ada juga yang memasukkan adat istiadat sebagai salah satu faktor penting dalam pembentukan akhak. Misalnya, adat orang Jawa itu selalu menyapa bila ketemu orang. Adat ini bisa menjadi sebuah kebiasaan. Dan di sinilah akhlak akan dibentuk (Hamzah, 2019: 33).
Ketiga, dalam perspektif psikologis, pembentukan akhlak terpuji bisa ditempuh melalui modelling (keteladanan).
Bahwa dalam kehidupan sosial, perubahan perilaku terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi. Dengan demikian, guru, ulama, bahkan publik figur harus memberikan teladanan akhlak yang baik bagi masyarakat luas. Jika sudah demikian, minimal para penggemarnya akan mengikuti jejak positifnya. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sehingga beliau mendapatkan predikat sebagai “uswatun hasanah”.
Dari upaya-upaya di atas, sesungguhnya ada hal lain yang mempunyai dampak dominan dalam pembentukan akhlak terpuji, yakni hati nurani.
Pada diri manusia terdapat bagian yang sewaktu-waktu memberikan peringatan apabila tingkah laku manusia berada di ambang bahaya, batas kewajaran dan keburukan. Ia patut didengar. Ia adalah hati nurani, suara hati. Selain memberikan isyarat, hati nurani juga akan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik.
# Penulis adalah Peneliti Muda di Islamic Studies of Law and Education, Mahasiswi Pascasarjana UIN Walisongo Semarang